Kenapa Honda dan Toyota ‘Ogah-ogahan’ Kembangkan Mobil Listrik?
Shell hadirkan stasiun listrik di Malaysia dan Singapura (Chuttersnap/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA – Honda dan Toyota merupakan dua pabrikan asal Jepang yang kini menjadi raksasa otomotif dunia. Bisa dibilang, keduanya merupakan barometer pengembangan kendaraan bermotor massal yang banyak ditiru oleh produsen lain.

Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk satu hal: mobil listrik. Pada era teknologi 4.0 saat ini, kedua perusahaan otomotif itu lebih senang untuk membangun jenis kendaraan dengan pasokan energi utama berjenis minyak bumi yang dibantu oleh tenaga listrik alias hybrid.

Lantas, mengapa Honda dan Toyota terkesan ‘ogah-ogahan’  main di bisnis mobil listrik seperti yang sedang nge-trend saat ini?

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016 Arcandra Tahar ternyata punya jawabannya, atau lebih tepatnya hipotesis.

“Tentu tidak ada yang tahu alasan pastinya. Namun demikian ada beberapa petunjuk yang bisa kita dalami untuk menemukan jawaban,” ujarnya dalam laman Instagram pribadi @arcandra.tahar awal pekan ini.

Menurut dia, terdapat tiga hal penting mengapa Honda dan Toyota enggan untuk menggarap secara serius kendaraan listrik atau lebih jamak disebut electric vehicle (EV).

“Pertama, Japan automaker mungkin belum percaya bahwa  EV merupakan solusi terbaik untuk membantu mengurangi emisi gas buang. Menurut mereka, mobil dengan kombinasi gasoline dan electric (hybrid) yang harus didorong dalam masa transisi dari mobil berbahan bakar fosil ke EV. Dengan strategi ini banyak sekali dana yang sudah dikeluarkan untuk mengembangkan mobil hybrid di Jepang dan investasi ini perlu waktu mengembalikannya,” kata dia.

Lalu, asumsi kedua yang dilontarkan oleh Menteri ESDM 20 hari tersebut adalah produsen otomotif raksasa di Jepang mungkin belum melihat kebutuhan pasar yang significant terhadap EV.

“Untuk diketahui saja, volume penjualan EV kurang dari 3 persen dari total penjualan mobil secara global. Kurangnya minat konsumen terhadap EV ini mungkin disebabkan oleh harganya yang lebih mahal, jarak tempuh yang pendek dan lamanya waktu charging,” jelasnya.

Selanjutnya hipotesis yang ketiga menurut Arcandra ialah perusahaan otomotif di negara Asia Timur ini sudah agak telat untuk masuk ke gelanggang persaingan.

“Selain nama nama besar yang sudah bertarung seperti General Motor, Volvo dan Mercedes, banyak pemain baru yang mulai masuk dan mampu bersaing dengan nama nama besar ini seperti Tesla dan Nio dari China,” tutupnya.