Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan Indonesia kehilangan nilai ekonomi sekitar Rp1.356 triliun akibat pandemi COVID-19 yang terjadi pada sepanjang 2020. Nilai tersebut setara dengan 8,8 persen struktur produk domestik bruto (PDB)yang tercatat Rp15.434,2 triliun.

“Estimasi ini berdasarkan dari proyeksi pertumbuhan ekonomi yang sebelum pandemi ditarget sebesar 5,5 persen pada 2020, namun realisasinya malah minus 2 persen,” ujar dia dalam konferensi pers virtual, Kamis, 29 April.

Menkeu menambahkan, dampak pandemi memuat kemerosotan ekonomi cukup dalam. Oleh karena itu, APBN sebagai instrumen fiskal mencoba untuk menahan laju kontraksi melalui berbagai kebijakan maupun stimulus.

“Ini mengakibatkan kita mengalami defisit anggaran melebihi 3 persen dari produk domestik bruto (PDB),” tuturnya.

Meski demikian, Menkeu menjelaskan bahwa defisit tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara, seperti Amerika Serikat dengan 15,6 persen, China 11,9 persen, dan Jepang 14,2 persen. Sementara Indonesia sendiri mengalami defisit anggaran sebesar 6,1 persen pada 2020.

“Ke depan, pemberian stimulus dan defisit fiskal tetap perlu dikendalikan agar menjaga tingkat utang yang aman dan fiskal yang sehat,” katanya.

Sebagai informasi, dalam APBN 2021 pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp1.743 triliun. Jumlah tersebut bakal disokong oleh penerimaan pajak Rp1.229 triliun, kepabeanan dan cukai Rp215 triliun. Lalu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp298 triliun, serta hibah Rp900 miliar.

Sementara untuk belanja dialokasikan anggaran Rp2.750 triliun. Angka tersebut membuat struktur APBN mengalami defisit sekitar Rp1.000 triliun yang dicukupi lewat sejumlah pembiayaan yang dirilis pemerintah.

“Ini adalah pilihan tidak mudah namun harus dilakukan, yaitu antara menyehatkan APBN dan ekonomi, serta meneruskan pembangunan. Ini semuanya dilaksanakan dengan keseimbangan yang baik dan tetap berkelanjutan,” tutup Sri Mulyani.