JAKARTA - Kepala Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda menyebut proyek Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat, yang digadang-gadang sebagai Sillicon Valley ala Indonesia bisa berpotensi mangkrak. Itu seperti halnya Bandara Kertajati dari bandara komersial menjadi bengkel pesawat.
Lebih lanjut, Huda mengatakan potensi mengkrak tersebut dapat terjadi jika berbagai permasalahan yang ada tidak diselesaikan terlebih dahulu. Namun, pemerintah justru membangun infrasruktur baru.
"Berbagai permasalahan mendasar harus diperbaiki terlebih dahulu karena sangat berpotensi sekali bukit algoritma mangkrak dan bisa seperti proyek lainnya yang pemanfaatannya tidak maksimal, seperti Bandara Kertajati yang hanya menjadi bengkel pesawat," katanya dalam diskusi virtual, Kamis, 15 April.
Huda mengatakan, persoalan pertama yang harus diselesaikan adalah masih sangat rendahnya ekosistem riset dan pengembangan di Indonesia. Berdasarkan data Unesco 2021, proporsi dana R&D terhadap PDB secara total masih berkisar 0,24 persen. Angka itu masih sangat tertinggal dari Singapura yang sudah 2,22 persen.
Di samping itu, kata Huda, produk berteknologi tinggi dari Indonesia masih sangat sedikit. Berdasarkan data Bank Dunia, ekspor produk manufaktur Indonesia cenderung turun trennya apabila mengukur sejak 2011. Bahkan, inovasi Indonesia masuk peringkat empat terburuk se-Asean. ICOR Indonesia pun berada di angka 6,7.
BACA JUGA:
Kedua, kata Huda, sumber daya manusia (SDM) di Indonesia masih belum mencukupi untuk masuk ke dalam Industri 4.0. Menurut dia, hal ini tercermin dari jumlah peneliti Indonesia yang sangat rendah, yaitu 216 dari 1 juta penduduk.
Bahkan, kata Huda, proporsi penduduk Indonesia yang ahli dalam pemrograman komputer masih sangat rendah, hanya 3,5 persen dari penduduk muda dan dewasa. Angka tersebut hanya unggul dari Thailand dan Filipina. Belum lagi dengan adanya persoalan nilai PISA Indonesia yang masih tertinggal dibandngkan Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Terakhir, kata Huda, masalah ketimpangan digital yang masih tinggi dalam hal keahlian dan penggunaan produk digital. Serta, menurutnya, masih banyaknya desa di luar Pulau Jawa yang kesulitan mendapatkan akses sinyal, terutama di Maluku dan Papua. Bahkan, ada 70 persen lebih desa yang belum mendapatkan sinyal seluler yang baik.
"Kita bisa simpulkan bahwa Bukit Algolritma atau Silicon Valley ala Indonesia ini hanya program pembangunan secara fisik namun belum mengangkat konteks inovasi. Tidak ada BUMN dari dari sektor ICT melainkan konstruksi," ucapnya.