Bagikan:

 

JAKARTA - Ekonom Universitas Paramadina Jakarta Wijayanto Samirin menyarakan, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen harus disertai dengan perbaikan tata kelola di sektor perpajakan.

Dia bilang, apabila melihat situasi fiskal yang sangat berat saat ini, menaikkan tarif PPN sebenarnya merupakan langkah yang kurang ideal walaupun dapat dipahami.

"Rendahnya tax ratio kita, lebih disebabkan oleh tax base yang sempit, korupsi sektor pajak yang prevalent dan ketaatan membayar pajak yang rendah. Pertimbangkan kenaikan ini saya lihat murni untuk mengamankan fiskal kita, terutama menghadapi situasi berat di 2025 dan 2026," ujar Wijayanto dilansir ANTARA, Rabu, 18 Desember.

Sekadar informasi, pemerintah secara resmi menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2025.

Wijayanto menjelaskan, pemberian insentif dari pemerintah merupakan langkah tepat untuk mencegah penurunan daya beli.

Namun, menurutnya, kunci sukses dari insentif adalah implementasi di lapangan, semakin kompleks insentif yang diberikan semakin rumit implementasi di lapangan.

Selain itu, insentif tidak akan berjalan dengan baik jika target penerima insentif tidak memahaminya; dalam konteks ini, pemerintah perlu mengomunikasikan kepada para pengusaha dan masyarakat, agar mereka tergerak untuk memanfaatkan dan ekonomi terstimulan untuk berputar.

Terkait komunikasi ini, kata Wijayanto, selama ini pemerintah masih jauh dari optimal.

Menanggapi pernyataan pemerintah bahwa ekonomi termasuk baik-baik saja saat PPN diterapkan 11 persen pada 2022, Wijayanto menilai situasi tahun 2024 dan 2022 tidak bisa disamakan.

Pada 2022, Indonesia dan dunia baru pulih dari pandemi COVID-19, maka terjadi permintaan belanja yang melonjak.

Masyarakat mengalami euphoria untuk berbelanja, memanfaatkan berbagai benefit yang diterima saat pandemi.

Namun saat ini, ekonomi dunia sedang melambat, efek pasca kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS alias Trump effect sebentar lagi muncul, dan daya beli masyarakat kita sedang lemah.

Insentif sangat diperlukan untuk mengantisipasi itu semua.

“Yang tidak boleh kita lupakan adalah prinsip keadilan dalam kebijakan pemerintah. Kebijakan terkait kenaikan PPN dan UMP menguntungkan Pemerintah dan pekerja, tetapi memberatkan pengusaha. Berbagai stimulus yang baru-baru ini diluncurkan juga tidak secara jelas memberikan manfaat langsung bagi pengusaha,” jelasnya.

Dia juga menyarankan pemerintah ke depan perlu mengeluarkan kebijakan yang juga pro pengusaha.

“Saat ini mereka sedang sangat kesulitan, jangan sampai mereka patah arang, pesimis dan tidak mau melakukan investasi, bahkan cenderung melakukan divestasi. Jika ini terjadi, akan sangat berat bagi ekonomi kita. Jika pengusaha dalam negeri saja malas berinvestasi dan justru ingin exit, bagaimana bisa kita meyakinkan investor luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia?,” terangnya.