Bagikan:

JAKARTA - Perekonomian Indonesia menghadapi sejumlah tekanan global yang semakin meningkat. Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat memunculkan kekhawatiran terkait kebijakan proteksionisme, khususnya dalam bentuk kenaikan tarif impor.

“Kebijakan tarif impor yang diusung Trump berpotensi berdampak besar pada ekspor Indonesia ke AS, yang merupakan salah satu mitra dagang utama kita,” ujar Ekonom Senior Masyita Crystallin dalam keterangannya, Minggu, 24 November.

Selain itu, Masyita menyampaikan perang dagang antara Uni Eropa dan China terkait kendaraan listrik semakin memperburuk ketegangan dalam perdagangan dunia, yang berpotensi memengaruhi pasar global, termasuk Indonesia.

Untuk diketahui, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di negara maju baru akan mulai meningkat pada 2025, dengan angka proyeksi 1,7 persen, namun masih stagnan di posisi 1,5 persen untuk 2024, yang sejajar dengan angka tahun lalu. Hal tersebut juga terjadi di Indonesia, yang diperkirakan akan tumbuh 5,1 persen pada 2025, setelah stagnan di angka 5 persen hingga akhir 2024.

Di sisi lain, negara berkembang diperkirakan akan mengalami stagnasi di 4,0 persen untuk tahun ini dan tahun depan, lebih rendah dibandingkan 2023 yang tercatat di angka 4,2 persen.

“Ketidakpastian global ini menjadi sinyal bagi Indonesia untuk mempercepat reformasi struktural dan memperkuat strategi pembangunan hijau yang berkelanjutan,” jelas Masyita.

Sebagai langkah strategis, pemerintah Indonesia telah memasukkan efisiensi energi, pengembangan transportasi ramah lingkungan, dan penerapan ekonomi sirkular dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 untuk menghadapi tantangan ini.

Di sisi moneter, Bank Indonesia (BI) menjaga stabilitas ekonomi dengan mempertahankan suku bunga acuan di level 6 persen, meskipun sebelumnya sempat menurunkannya sebesar 25 basis poin pada September.

Masyita menyampaikan inflasi yang terus menurun menjadi indikasi lemahnya daya beli masyarakat, yang perlu mendapatkan perhatian lebih agar pertumbuhan ekonomi dapat terjaga.

“Menurunnya inflasi harus diimbangi dengan kebijakan yang mendukung daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif,” kata Masyita.

Pasar kini menunggu keputusan BI mengenai potensi pemotongan suku bunga lebih lanjut, mengingat tren pelemahan inflasi sejak awal tahun. Masyita juga mengingatkan pentingnya kebijakan yang lebih terarah untuk menjaga stabilitas perekonomian di tengah situasi global yang tidak pasti.

Sementara itu, Masyita menyampaikan penurunan nilai tukar rupiah pada beberapa minggu terakhir perlu diwaspadai. Nilai tukar mata uang dunia bergerak dalam ruang terbatas, bahkan beberapa mengalami penguatan, seperti yang terjadi pada lira Turki dan rubel Rusia.

“Pelemahan rupiah dapat memengaruhi kelangsungan surplus neraca modal dan finansial Indonesia, yang saat ini masih dalam posisi yang relatif stabil,” ujar Masyita.

Namun, data terbaru menunjukkan penguatan dolar AS terhadap rupiah sejak akhir September hingga saat ini, mendekati level pada Agustus lalu, di kisaran Rp 15.900 per dolar AS.

Meskipun arus modal masuk (capital inflow) pada kuartal ketiga 2024 tercatat mencapai 7,4 miliar dolar AS, yang menunjukkan kenaikan 39 persen dibandingkan kuartal sebelumnya, Masyita menekankan bahwa hal ini belum cukup untuk mengatasi pengaruh negatif dari perubahan kondisi global.

“Sebagian besar arus modal masuk berasal dari ekuitas, dengan total mencapai hampir 100 persen dari jumlah tersebut, sementara utang hanya menyumbang 49 juta dolar AS,” jelasnya.

Capital outflow tercatat sebesar 2,2 miliar dolar AS, yang juga harus menjadi perhatian. “Sentimen pasar domestik terhadap BI tetap positif dalam menahan suku bunga di 6 persen, namun ini belum cukup mengalahkan sentimen pasar internasional terhadap The Fed, yang diperkirakan sudah kehabisan amunisi untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut,” ujar Masyita.

Meski tantangan dari luar negeri semakin nyata, Masyita menyampaikan hubungan dagang Indonesia yang kuat dengan China dan negara-negara ASEAN tetap memberikan peluang strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Menurut Masyita, Indonesia harus memanfaatkan hubungan perdagangan yang kuat dengan ASEAN dan China untuk mengurangi dampak negatif dari ketegangan perdagangan global.

"Hubungan yang kuat dengan ASEAN dan China ini dapat menjadi kunci bagi perekonomian Indonesia dalam menjaga ketahanan di tengah dinamika global yang terus berkembang," tutup Masyita.