Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) mengharapkan Presiden Prabowo Subianto berkomitmen melindungi jutaan petani tembakau dari ancaman global dan berbagai regulasi yang mengancam kelangsungan ekonomi mereka.

Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTI Agus Parmuji, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa 29 Oktober, mengungkapkan, saat ini industri hasil tembakau legal telah diawasi dan diatur dengan lebih dari 480 peraturan yang ketat, baik sisi fiskal maupun nonfiskal yang meliputi peraturan daerah, peraturan bupati/wali kota/gubernur, sampai kementerian dan perundang-undangan.

Belum lagi terbitnya PP 28 Tahun 2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang menuai penolakan dari banyak kalangan, termasuk penolakan dari ekosistem pertembakauan.

"Padatnya regulasi aturan yang dibebankan IHT legal nasional tersebut, akan berdampak pula bagi kelangsungan hidup jutaan petani tembakau yang selama ini bergantung pada pabrikan rokok," ujar Agus Parmujim, dikutip dari Antara.

Menurut dia, untuk melindungi jutaan petani tembakau yang selama ini sebagai pilar ekonomi bangsa, DPN APTI meminta kepada Presiden agar Pemerintah Indonesia tidak perlu mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Kerangka FCTC jika diterapkan di Indonesia, katanya pula, akan mematikan tenaga kerja, petani, buruh, yang juga bakal menekan pertumbuhan ekonomi nasional.

Hal itu, menurut dia, justru bertolak belakang dengan visi misi Asta Cita yang ingin menyerap jutaan tenaga kerja demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Kemudian, meminta agar Harga Jual Eceran (HJE) rokok tidak berubah pada tahun 2025, serta tidak ada kenaikan PPN menjadi 12 persen guna menjaga penjualan dalam kondisi turunnya daya beli masyarakat.

"Hal itu sejalan dengan program 100 Hari Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menargetkan bisa kembali membangkitkan daya beli masyarakat yang tengah lesu," katanya.

APTI juga meminta, tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk tahun 2025, 2026 dan tahun 2027 tidak naik guna menjaga kelangsungan proses pemulihan industri hasil tembakau legal nasional.

Selain itu, asosiasi menolak penyederhanaan (simplifikasi) tarif cukai dan mendekatkan disparitas tarif antarlayer, karena akan menjadi ancaman harga rokok legal semakin tidak terbeli, dan perokok beralih ke rokok ilegal.

Dengan simplifikasi, ujarnya lagi, yang diuntungkan adalah perusahaan rokok dengan brand internasional, dimana produk-produknya sangat sedikit menggunakan tembakau lokal hasil panen petani. ‎

"Bila itu diterapkan, bisa menjadi kiamat ekonomi bagi petani tembakau," kata Agus Parmuji.

Kelima, memohon peraturan yang seimbang antara rokok elektronik dan rokok kretek. Hal ini mengingat tarif cukai rokok elektronik lebih murah dari rokok kretek.