Bagikan:

JAKARTA – Para petani cengkeh secara bersama-sama menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 serta aturan turunannya, yakni Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), di mana kedua kebijakan tersebut memuat aturan zonasi larangan penjualan dan pembatasan iklan produk tembakau hingga kemasan rokok polos tanpa merek.

Sekretaris Jendral Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI) I Ketut Budhyman menegaskan bahwa aturan-aturan tersebut akan berdampak terhadap keberlangsungan berbagai pihak, termasuk petani, retail, buruh tembakau dan juga konsumen itu sendiri.

"Logikanya, jika produksi rokok menurun, hal ini juga akan berdampak pada sektor hulu, termasuk tenaga kerja dan serapan bahan baku. Jika serapan bahan baku menurun, terutama cengkeh, bisa terjadi oversupply karena produksi cengkeh sudah mencukupi kebutuhan," ujarnya, dalam keterangan tertulis, Senin 14 Oktober.

Dia juga mengkhawatirkan menjamurnya penyebaran rokok ilegal jika aturan kemasan rokok polos tanpa merek dijalankan oleh pemerintah. Dengan kondisi saat ini saja yang cukainya sudah tinggi, kata dia, rokok ilegal sudah tersebar luas di tengah masyarakat.

"Ini bisa menjadi peluang bagi peredaran rokok ilegal. Jadi, intinya, apapun yang menyebabkan turunnya produksi pasti akan berdampak pada kita, terutama dalam serapan bahan baku. Tentu saja, kita tidak setuju dengan aturan ini dan menolak pemberlakuannya," katanya.

Budhyman mengingatkan pemerintah bahwa rokok bukanlah barang terlarang atau ilegal. Menurutnya, hingga saat ini industri rokok telah memberikan sumbangan besar terhadap pendapatan negara.

Oleh karena itu, dia menekankan pemerintah agar bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan yang mencakup kehidupan banyak orang. Ia mengatakan kebijakan harus mempertimbangkan dampaknya pada berbagai pihak, bukan malah merugikan masyarakat luas.

Terlebih lagi, pemerintah belum memiliki solusi atas dampak kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam RPMK maupun zonasi larangan penjualan dan iklan produk tembakau pada PP 28/2024 khususnya kepada buruh, petani tembakau dan cengkeh, hingga penerimaan negara.

"Bagaimana dengan tenaga kerja yang akan kehilangan mata pencaharian? Apakah sudah ada mitigasinya? Bagaimana dengan penerimaan negara? Apakah sudah ada jalan keluarnya di desa-desa? Pemerintah berusaha menciptakan lapangan kerja, tetapi aturan ini justru bisa menghilangkan banyak pekerjaan," pungkas Budhyman.

Laporan World Population Review menyampaikan bahwa Indonesia memproduksi sekitar 109.600 ton cengkeh setiap tahun, yang menyumbang 70 persen dari total produksi dunia. Meski Indonesia menjadi penguasa dalam produksi cengkeh global, beberapa negara lain juga berperan penting dalam pasar cengkeh internasional, di mana sekitar 96 persennya digunakan sebagai bahan baku rokok kretek.

Sementara di posisi kedua, ada Madagaskar yang menyumbang sekitar 27 persen dari produksi dunia. Selain itu, negara-negara seperti Komoro, Malaysia, China, Kenya, Sri Lanka, dan Tanzania juga menjadi pemain utama dalam produksi cengkeh. Meskipun demikian, Indonesia tetap unggul dengan iklim tropis dan sejarah panjang budidaya cengkeh.