JAKARTA - Industri tekstil dan pakaian jadi Indonesia masih menderita imbas maraknya produk impor ke Tanah Air.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, angka indeks kepercayaan industri (IKI) subsektor pakaian jadi cenderung menurun sejak Mei 2024, meskipun secara keseluruhan kinerjanya masih ekspansi atau berada di atas level 50.
"Kami melihat sekarang badai banjir impor sudah berdampak ke sektor pakaian jadi. Sejak Mei lalu industri pakaian jadi itu masih ekspansif, tapi kami lihat ada tren penurunan IKI di September," kata Febri dalam agenda Rilis IKI September 2024 di Gedung Kemenperin, Jakarta, Senin, 30 September.
Febri menyebut, industri pakaian jadi yang kini menderita adalah yang di luar kawasan berikat atau tidak berorientasi ekspor meski industri yang berorientasi ekspor juga tetap mengalami penurunan permintaan.
"Dan kami lihat yang cukup menderita itu adalah industri pakaian jadi di luar kawasan berikat. Sekarang industri pakaian jadi di kawasan berikat nampaknya mulai mengalami penurunan permintaan ekspor," ucapnya.
Menurut Febri, ada potensi produk pakaian jadi di kawasan berikat akan disalurkan ke pasar domestik imbas sepinya permintaan dari pasar luar negeri.
Kondisi ini pada akhirnya berdampak negatif bagi industri di luar kawasan berikat.
"Nah ini nanti perlu kami lihat apakah produksi pakaian jadi di kawasan berikat ini akan ditumpahkan pula ke pasar domestik yang nanti membuat industri di luar kawasan berikat akan menderita juga. Karena selain menghadapi banjir impor pakaian jadi juga menghadapi serbuan produk pakaian jadi dari kawasan berikat," ujarnya.
Kondisi serupa dialami sektor tekstil. Febri menyatakan sektor tersebut harus bersaing dengan produk impor legal dan ilegal.
"Industri tekstil itu masih menderita di sisi permintaan. Kenapa? karena itu banjir impor produk ilegal dan legal. Produk impor jadi legal dan ilegal," sebut Febri.
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Reni Yanita bilang, tekanan terhadap industri tekstil disebabkan oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 8 Tahun 2024.
Aturan tersebut memungkinkan barang-barang impor masuk tanpa persetujuan teknis.
"Jadi, kalau untuk tekstil memang dengan kebijakan Permendag 8 ini sangat menghantam sekali, karena dia memang satu-satunya mengandalkan kainnya untuk pasar lokal," tutur Reni.
BACA JUGA:
Terkait PHK di sektor tekstil, Reni menjelaskan, hal tersebut tak lepas dari faktor sepinya permintaan.
Akibatnya, pengusaha harus melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah karyawannya secara perlahan.