Bagikan:

JAKARTA - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai masuknya skema power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) bisa menjadi beban bagi APBN mendatang.

Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah dan DPR RI tidak perlu memasukkan skema power wheeling ke dalam RUU EBET.

"Pemerintah dan DPR tidak perlu menjadikan power wheeling sebagai stimulus dalam memacu energi baru terbarukan. Karena power wheeling sangat membahayakan keuangan negara. Beban negara berisiko naik dan membahayakan APBN pada periode mendatang," kata Abra dalam keterangannya di Jakarta, dikutip dari Antara, Selasa 10 September.

Menurut dia, lonjakan beban APBN berisiko muncul karena adanya tambahan biaya pokok penyediaan listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik milik swasta melalui skema power wheeling.

Aturan power wheeling tersebut memperbolehkan pembangkit swasta untuk menjual listrik EBET yang diproduksinya kepada masyarakat secara langsung dengan menyewa jaringan transmisi/distribusi milik negara.

"Ada beberapa risiko sebagai implikasi skema power wheeling yang selanjutnya akan berdampak terhadap kesehatan keuangan negara," katanya.

Risiko tambahan beban APBN juga dapat muncul karena adanya potensi tambahan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebagai konsekuensi masuknya pembangkit listrik dari skema power wheeling yang bersumber dari energi terbarukan yang bersifat intermiten.

Implikasinya, tambahnya, akan timbul tambahan cadangan putar (spinning reserve atau backup cost) untuk menjaga keandalan dan stabilitas sistem kelistrikan sehingga setiap masuknya 1 gigawatt (GW) pembangkit melalui power wheeling akan mengakibatkan tambahan beban biaya hingga Rp3,44 triliun (biaya take or pay + backup cost) yang tentu akan membebani keuangan negara.

Dikatakannya, pemerintah tidak perlu memberikan iming-iming pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Dalam RUPTL terbaru, target tambahan pembangkit EBT mencapai 20,9 gigawatt (GW), porsi swasta sudah mencapai 56,3 persen atau setara dengan 11,8 GW.

"Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, seharusnya menjadi benteng terakhir penolakan implementasi skema power wheeling yang berisiko merugikan negara. Karena Kementerian Keuangan tahu betul kondisi keuangan negara pada pemerintahan mendatang," ujarnya.

Abra menambahkan pemerintah sebetulnya sudah menggelar karpet merah bagi swasta untuk memperluas bauran energi baru terbarukan/EBT sebagaimana yang dijaminkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

"Terlepas dari instrumen yang akan diberikan, pengembangan energi baru terbaru terbarukan cukup menggunakan RUPTL yang sudah disepakati bersama," katanya.

Dia menegaskan pemerintah harus terus waspada terhadap pembahasan RUU EBET yang di dalamnya memuat pasal power wheeling karena risiko terbesarnya adalah membebani keuangan negara yang bisa berdampak langsung terhadap pembangunan dan masyarakat kecil.