Bagikan:

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyebut akan memberikan sanksi kepada lembaga jasa perbankan yang dinilai tidak agresif dalam menyalurkan kredit maupun pembiayaan.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung mengatakan upaya tersebut dimaksudkan untuk mendorong aktivitas intermediasi perbankan guna membantu proses pemulihan ekonomi di masa pandemi.

“Supaya tidak menjadi lazy bank,” ujarnya dalam sebuah webinar, Jumat, 26 Maret.

Juda menambahkan, otoritas moneter mendapati bahwa banyak bank yang lebih memilih untuk menempatkan dananya pada instrumen keuangan yang lebih safety agar memperoleh imbal hasil tetap ketimbang menyalurkan kembali dalam bentuk kredit. Terlebih ditengah kondisi likuiditas yang cukup melimpah saat ini.

“Banyak (bank) yang menaruh dananya di SBN (surat berharga negara) karena free risk dan return-nya baik,” tutur dia.

Guna menanggulangi hal tersebut, Bank Indonesia disebut Juda bakal memberikan penalti berupa kewajiban giro Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial Syariah (RIMS) untuk ditempatkan di bank sentral.

Adapun, batasan RIM yang ditetapkan akan berlaku secara gradual. Tahap pertama akan resmi ditetapkan pada 1 Mei mendatang dengan ketentuan perbankan yang memiliki level RIM/RIMS di bawah 75 persen wajib menunaikan kewajiban penempatan giro kepada BI. Aturan ini berlaku hingga penutupan 2021.

Selanjutnya,  mulai Januari 2022 besaran RIM/RIMS diperbesar menjadi minimal 84 persen. Untuk diketahui, otoritas moneter menetapkan besaran RIM/RIMS pada saat ini sebesar 78-79 persen.

Angka tersebut merupakan bentuk pelonggaran kebijakan BI beberapa waktu lalu yang menilai bahwa perbankan nasional membutuhkan cukup banyak likuiditas. Namun, ditengah banjirnya likuiditas saat ini, BI merasa berkepentingan untuk kembali memperketat RIM/RIMS ke level 84-94 persen mulai 2022.

“Tahun lalu direlaksasi karena banyak (bank) yang butuh likuiditas. Tapi sekarang kami akan beri penalti kalau likuiditasnya banyak tapi malah disimpan di SBN dan tidak mau salurkan kredit,” tegasnya.

Sebagai informasi, kewajiban penempatan RIM/RIMS tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/4/PBI/2018 tanggal 3 April 2018 tentang Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah.

Pada beleid tersebut diungkapkan bahwa instrumen ini merupakan siasat untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan kepada sektor riil sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian.

RIM/RIMS sendiri merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk menakar posisi likuiditas yang ada di badan usaha perbankan.

Sebelumnya, rasio likuiditas mengacu pada besaran kredit/pembiayaan terhadap dana yang dihimpun dari pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR).

Namun, Bank Indonesia mulai 2018 lalu memasukan surat utang, obligasi, dan lain-lain yang dikeluarkan oleh sebuah korporasi (nonbank) sebagai bentuk persamaan dari kredit.