Bagikan:

JAKARTA - Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan pemerintah akan tetap melakukan upaya penyelamatan perusahaan pelat merah yang bermasalah, termasuk PT Indofarma Tbk (INAF).

Seperti diketahui, Indofarma mengalami kesulitan keuangan untuk membayar gaji dan utang.

Bahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan perusahaan farmasi ini terjerat pinjaman online (pinjol) dan ada indikasi fraud.

Erick mengatakan, pihaknya akan memperbaiki tata kelola bisnis Indofarma sesuai dengan prinsip good corporate governance. Termasuk pelunasan utang terhadap vendor.

“Indofarmanya sendiri harus kita bisa kelola dengan baik. Ya kita harus lakukan penyelamatan. Termasuk tentu utang vendor, dan macam-macam yang harus kita selesaikan,” katanya saat ditemui di Sarinah, Jakarta, Jumat, 5 Juli.

Lebih lanjut, Erick mengatakan, jika nantinya ada temuan korupsi pada permasalahan keuangan PT Indofarma Tbk (INAF), maka pihak-pihak yang terlibat akan ditindak secara hukum.

“Bersama BPK kita sudah lakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung, kalau. Kalau kasus fraud ya fraud, kalau korupsi ya kita tangkap,” ujarnya.

Erick menekankan, permasalahan BUMN yang saat ini ditangani Kejagung, BPK, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak terlepas dari upaya Kementerian BUMN untuk melakukan ‘bersih-bersih’ pada perusahaan pelat merah.

“Begini, kalau masalah oknum kan bisa terjadi di mana pun, kalau dibilang BUMN tidak mempelajari, justru BUMN yang nemuin, BUMN yang melakukan investigasi audit. Lalu kita melakukan verifikasi, baru kita laporkan ke BPK, dan BPK periksa lagi, dan baru terjadi (kasus terungkap),” tuturnya.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memeriksa sebanyak 18 temuan. Dari temuan tersebut, terdapat 10 di antaranya yang terindikasi fraud dengan potensi kerugian negara mencapai Rp436,87 miliar.

Direktur Utama Bio Farma Shadiq Akasya membongkar 10 indikasi fraud di anak usahanya, PT Indofarma Tbk.

Salah satunya yakni temuan indikasi kerugian di anak usaha Indofarma, PT Indofarma Global Medika (IGM) senilai Rp157,33 miliar atas transaksi unit bisnis Fast Moving Consumer Goods (FMCG).

“Kemudian, indikasi kerugian di IGM atas kerugian depositonya kurang lebih Rp35,07 miliar, indikasi kerugian IGM atas kerugian deposito sebesar Rp38 miliar,” katanya dalam rapat dengan Komisi VI DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 19 Juni.

Lalu, sambung Shadiq, adanya indikasi kerugian IGM atas penggadaian deposito beserta bunga senilai Rp38,06 miliar pada Bank Oke. Kemudian, ditemukan indikasi kerugian IGM senilai Rp18 miliar atas pengembalian uang muka dari MMU yang tidak masuk ke rekening IGM.

“Kelima, pengeluaran dana dan pembebanan biaya tanpa didasar transaksi berindikasi kerugian IGM senilai Rp24,35 miliar,” jelasnya.

Keenam, sambung Shadiq, kerja sama Distribusi Alkes TeleCTG dengan PT ZTI tanpa perencanaan Memadai Berindikasi merugikan IGM senilai Rp4,50 miliar atas pembayaran yang melebihi nilai invoice dan berpotensi merugikan IGM senilai Rp10,43 miliar atas stok TeleCTG yang tidak dapat terjual.

Kemudian, lanjut Shadiq, pinjaman melalui fintech bukan untuk kepentingan perusahaan berindikasi merugikan IGM senilai Rp1,26 miliar.

Kedelapan, kegiatan usaha masker tanpa perencanaan yang memadai berindikasi fraud, berindikasi kerugian senilai Rp2,67 miliar atas penurunan nilai persediaan masker serta berpotensi kerugian senilai Rp60,24 miliar atas piutang macet PT Promedik dan senilai Rp13,11 miliar atas sisa persediaan masker.

Kesembilan, pembelian dan penjualan Rapid Test Panbio PT IGM tanpa perencanaan memadai berindikasi fraud dan berpotensi kerugian senilai Rp56,70 miliar atas piutang macet PT Promedik.

“Kesepuluh, PT Indofarma melaksanakan pembelian dan penjualan PCR Kit COVID-19 Tahun 2020/2021 tanpa perencanaan yang memadai berindikasi fraud serta berpotensi kerugian senilai Rp5,98 miliar atas piutang macet PT Promedik dan senilai Rp9,17 miliar atas tidak terjualnya PCR Kit COVID-19 yang kadaluarsa,” ucap Shadiq.