Bagikan:

JAKARTA - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo mengatakan, adanya perbedaan data penerima manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Dari total kasus 27.222 peserta terkena PHK hingga Mei 2024, baru 24.453 orang yang menerima manfaat JKP. Anggoro menyebut, salah satu penyebabnya adalah peserta JKP tidak terdaftar dalam peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Penyebab lainnya masa iur tidak memenuhi manfaat klaim JKP, yaitu 12 bulan atau penerima manfaat tidak mengajukan klaim JKP dalam kurun waktu tiga bulan usai terkena PHK.

"Karena dari total kasus enggak semuanya eligible, yang tidak eligible itu biasanya karena bukan peserta JKN. Yang kedua juga masa iurnya belum 12 bulan. Karena JKP, kan, syaratnya mereka sudah menjadi peserta 12 bulan. Atau tidak menjawab klaim lebih dari tiga bulan," ujar Anggoro dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 2 Juli.

Meski begitu, Anggoro menuturkan, kesadaran penerima manfaat untuk mengeklaim JKP semakin membaik dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terlihat dari klaim JKP pada 2024, yakni mencapai 84 persen.

"Di tahun ini rasio klaimnya semakin membaik, 89,8 persen. Dari 27.222 (orang) yang terkena PHK, 24.453 itu melakukan klaim JKP. Data ini menunjukkan mereka sudah lebih aware dengan JKP," ucap dia.

Sementara itu, Ketua Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Ketenagakerjaan Muhammad Zuhri mengakui, ada gap antara penerima JKP dan korban pekerja yang terkena PHK.

"Memang ada gap jumlah PHK dengan klaim JKP. Saya kira ini hanya penegasan terkait kenapa gapnya antara klaim JKP dan jumlah PHK ini memang tidak sama," katanya.