Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai mundurnya beberapa perusahaan asal Eropa dalam proyek pengelolaan kawasan pertambangan di Indonesia menandakan ada masalah serius terkait kebijakan pertambangan sekarang ini.

“Mundurnya perusahan kimia terbesar asal Jerman, Badische Anilin und Soda Fabric (BASF) dan perusahaan pertambangan dan metalurgi asal Prancis, Eramet, dari proyek Sonic Bay di Maluku Utara mengkonfirmasi masalah itu," ujar Mulyanto yang dikutip Selasa 2 Juli.

Dikatakan Mulyanto, pemerintah dianggap tidak mampu memberikan kenyamanan dan keamanan investasi yang ingin dibangun, sehingga wajar perusahaan multinasional yang sudah berpengalaman mengkaji ulang keputusan untuk investasi di Indonesia.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI itu menyebut beberapa indikator rusaknya iklim investasi di antaranya tingginya indeks korupsi di Indonesia, turunnya kepercayaan publik pada lembaga penegak hukum, instabilitas politik dan ruwetnya koordinasi perizinan pertambangan antara Kementerian ESDM dan Kementerian Investasi.

Menurut Mulyanto situasi tersebut dapat mempengaruhi kepercayaan (trust) investor untuk berinvestasi di Indonesia.

“Walaupun mungkin terutama disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi investasi, namun faktor politik sangat mempengaruhi persepsi atas kepastian hukum, yang berujung pada iklim investasi di Indonesia," sambung Mulyanto.

Menurutnya, investor mempelajari kondisi tersebut yang merupakan bagian dari mitigasi risiko investasi.

"BASF dan Eramet ini kan dua investor dari Eropa. Kita perlu lihat nanti bagaimana respons investor dari negara lain terutama dari Tiongkok,” pungkas Mulyanto.