JAKARTA – Kondisi ekonomi global saat ini masih terus diwarnai oleh tekanan geopolitik yang mengancam stabilitas. Dalam hal ini, ketegangan antara Iran dan Israel yang memunculkan berbagai risiko bagi perekonomian dunia karena berdampak terhadap pergerakan harga minyak.
Di sisi lain, kondisi ekonomi Amerika Serikat yang masih tumbuh baik namun inflasi belum menurun pada level yang diharapkan, kondisi ini mendorong Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, untuk menunda penurunan suku bunga sehingga memicu kekhawatiran akan arus modal keluar atau capital outflow.
Keseluruhan dinamika tersebut membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan. IMF memproyeksi pertumbuhan ekonomi dunia di angka 3,2. Sementara OECD dan Bank Dunia memproyeksi di angka yang lebih rendah yaitu 2,9 dan 2,4. Untuk inflasi, proyeksi inflasi dunia rata-rata ada di angka 5,9 dan ini turun dari angka 6,8 di tahun sebelumnya.
Sedangkan untuk inflasi negara-negara maju yang sudah menurun di level 2,6. Sementara untuk negara berkembang, proyeksi inflasi tahun ini ada di level 8,3.
Situasi global yang cenderung melemah ditambah dengan tekanan dari geopolitik, harga komoditas, inflasi, dan suku bunga mempengaruhi kinerja ekonomi dunia, terutama dari sisi manufaktur. Mayoritas negara dunia PMI Manufakturnya masih kontraktif sekitar 52,2 persen sementara hanya 47,8 persen yang ekspansif di mana Indonesia masuk di dalamnya.
Meskipun situasi global menunjukkan tanda-tanda perlambatan, Indonesia mempertahankan aktivitas manufaktur yang ekspansif, serta indeks kepercayaan konsumen yang masih meningkat di angka 127,7. Hal itu membuat ekonomi Indonesia kembali tumbuh menguat di triwulan I-2024 mencapai 5,11 persen.
Melihat hal tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai, sektor konsumsi rumah tangga masih menjadi salah satu faktor yang berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi ini.
“Growth kita yang sudah disampaikan oleh BPS di 5,11 itu relatif dilihat dari sisi yang cukup menggembirakan meskipun tentu kita harus lihat berbagai faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ini satu konsumsi rumah tangga ada sedikit di bawah 5 persen, yaitu dari 4,9," jelas dalam keterangannya, dikutip Minggu, 9 Juni.
BACA JUGA:
Menurut Sri Mulyani meskipun dalam 3 tahun berturut-turut pertumbuhan konsumsi rumah tangga Indonesia di level 4,9 atau bahkan tahun lalu berada di angka 4,8. Namun, hal tersebut masih relatif sebanding.
Sebagai informasi, penerimaan negara hingga 30 April 2024, sebesar Rp924,9 triliun atau mencapai 33,04 persen dari target APBN. Capaian tersebut turun sebesar 7,6 persen dibanding tahun lalu sebesar Rp75,72 triliun.
Secara nominal, realisasi komponen Pendapatan Negara yang bersumber dari penerimaan Perpajakan mencapai Rp719,91 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp203,33 triliun, dan realisasi Hibah mencapai Rp1,68 triliun. Berdasarkan pertumbuhannya, realisasi penerimaan Perpajakan dan PNBP masing-masing terkontraksi 8,02 persen (yoy) dan 6,69 persen (yoy).