Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) dan Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) berharap adanya perbaikan sistem pengawasan yang lebih baik di Pelabuhan Tanjung Priok, sehingga tidak lagi terjadi kemacetan panjang saat angkutan di libur panjang.

Ketua Umum ALFI Akbar Djohan menilai, kondisi kemacetan di dalam pelabuhan tersebut pada beberapa waktu terakhir disebabkan kurangnya penegakan aturan bagi entitas di luar pelabuhan karena waktu kerja yang tidak tegas dan bersamaan.

“Ini masalahnya setiap ada hari libur, kita tahu Kamis ini 23 Mei ada tanggal merah Harkitnas, semua pemilik barang berlomba-lomba mengejar dan menuntaskan pengiriman barang di pergudangan. Namun di sisi lain, ketidaksiapan petugas, baik itu pemilik kapal terutama harusnya bisa dicegah,” ujar Akbar dikutip dari ANTARA, Selasa, 21 Mei.

Menurut Akbar, permasalahan itu mengakibatkan koordinasi yang terbengkalai sehingga berimbas pada kemacetan di dalam Pelabuhan Tanjung Priok.

Padahal menurutnya, jika ada informasi lebih awal semua permasalahan antara pemilik barang kontainer, pemilik kapal hingga operator pelabuhan bisa berkomunikasi dengan baik, dengan begitu tidak akan terjadi antrean panjang di masa libur panjang.

Pria yang juga sebagai Kepala Badan Logistik dan Rantai Pasok Kamar Dagang dan Industri (KADIN) ini menekankan agar semua entitas yang berada di luar pelabuhan bisa mengikuti aturan.

Menurut Akbar, penerapan waktu kerja tujuh hari selama 24 jam di Pelabuhan Tanjung Priok sebenarnya sudah maksimal dengan pelaksanaan waktu kerja bergantian dengan sistem shift.

“Permasalahan kemudian, apakah waktu kerja operator dan pemilik barang di pelabuhan ini diikuti oleh entitas lain seperti pemilik kapal, keagenan dan yang terkait di pelabuhan?,” ucapnya.

Akbar menambahkan kondisi kemacetan di Pelabuhan Tanjung Priok menunjukkan bahwa ekosistem di dalam pelabuhan tidak bisa diselesaikan secara parsial sehingga permasalahannya harus dilihat melalui berbagai kepentingan.

“Dan semua kepentingan ini harus diakomodir lewat satu pintu sehingga diperlukan otoritas yang lebih kuat melalui lembaga supply chain yang mampu mengatur koordinasi ekosistem pelabuhan melibatkan banyak entitas,” katanya.

Sementara itu, Ketua Umum BPP GINSI Capt Subandi mengatakan bahwa rumitnya proses importasi hendaknya menjadi catatan kepada entitas di luar pelabuhan.

Subandi mengungkapkan, hingga kini masih ada diantaranya yang tidak melayani 24 jam dan tujuh hari kerja dalam sepekan.

“Jadi yang tidak bekerja itu bukan pelabuhan tapi instansi atau entitas bisnis di luar pelabuhan seperti keagenan pelayaran/kapal, serta beberapa operator depo empty, termasuk Kementerian yang terkait perizinan (Kemenperin, Kemendag, Kemenhub, Kemenkeu, Kementan dan beberapa Lembaga),” ujarnya.

Subandi menjelaskan, syarat importir bisa mengeluarkan atau mengambil kontainer di pelabuhan adalah harus memiliki DO (Delivery Order) yang di keluarkan keagenan kapal/shiping line. Persyaratan tersebut bukan atas inisiatif pihak operator pelabuhan melainkan syarat dari pelayaran kepada pelabuhan.

“Sementara perusahaan keagenan pelayaran (agen kapal) pada umumnya beroperasi atau kerja hanya dari Senin sampai Jumat,” ucap Subandi.

Begitu juga dengan syarat importir untuk mengambil kontainer di pelabuhan harus memiliki Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

“Nah, SPPB ini yang mengeluarkan adalah Bea Cukai di pelabuhan setempat. Sebab, Bea Cukai mempersyaratkan kepada pelabuhan agar kontainer yang keluar pelabuhan harus telah mengantongi SPPB. Belum lagi soal ijin importasi yang harus di urus di kementerian dan lembaga,” jelas Subandi.

Sebelumnya, dengan kondisi kemacetan di dalam Pelabuhan Tanjung Priok berdampak besar bagi biaya operasional.

Kondisi ini langsung ditinjau oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Jumat 18 Mei.

Pemerintah pun merevisi Permendag 36 Tahun 2023 menjadi Permendag 8 Tahun 2024 tentang kebijakan impor.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kemendag Budi Santoso mengungkapkan bahwa terjadinya penumpukan kontainer di pelabuhan disebabkan karena adanya kendala pertimbangan teknis (pertek) yang merupakan salah satu persyaratan persetujuan impor terkait komoditas tertentu.

Adapun untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, perlu dilakukan perubahan atau relaksasi pengaturan impor melalui Permendag 8/2024 dengan tidak mempermasalahkan pertek lagi dalam pengurusan izin impor.

Budi menambahkan, dengan adanya Permendag 8/2024, pertek sebagai persyaratan persetujuan impor untuk komoditas tertentu tidak diperlukan lagi.

“Dengan demikian, persyaratan pertek tersebut dikeluarkan dari lampiran Permendag 8/2024,” kata Budi.