Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini mengagungkan ajakan benci produk luar negeri atau asing. Ajakan tersebut bertujuan untuk melindungi UMKM. Ia menyatakan sah-sah saja untuk tidak suka dengan produk asing.

Pernyataan Presiden Jokowi lantas menuai reaksi dari berbagai pihak, salah satunya Direktur Riset Indef Berly Martawardaya. Ia mempertanyakan ajakan benci produk asing dari Jokowi ini untuk produk impor yang mana. Menurut dia, ada tiga jenis yakni bahan baku dan pendukung, bahan modal, dan barang konsumsi.

Berdasarkan data BPS, kata Berly, terlihat sebagian besar impor Indonesia bahan baku dan bahan penolong 72 persen di tahun 2020. Barang modal 16 persen, dan barang konsumsi seperti mobil, sepatu, tas dan lainnya 10 persen.

"(Impor barang konsumsi) tidak terlalu banyak. Walaupun kalau dikurangi bagus. Kalau bahan baku dan bahan penolong yang dikurangi, nanti terganggu produksi di dalam negeri. Jadi harus akurat kalau mau benci impor. Impor yang mana yang mau dibenci?," tuturnya, dalam diskusi virtual, Senin, 8 Maret.

Berly mengatakan benci produk asing hanya cocok untuk impor barang konsumsi. Menurut dia, langkah ke depan yang harus dilakukan adalah mengurangi impor barang konsumsi.

"Ya impor yang dibenci yang konsumtif. Tadi jam, sepatu, tas, elektronik yang up skill, tapi kalau bahan baku dan bahan modal jangan dibatasi atau disetop," ucapnya.

Tak gunakan diksi benci produk luar negeri

Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan diski merupakan suatu yang umum digunakan suatu negara untuk mendorong penguatan industri di dalam negerinya. Namun, diksi yang digunakan negara lain tidak seperti yang disuarakan oleh Presiden Jokowi.

Lebih lanjut, Heri mengatakan, kalau dibandingkan dengan negara lain, misalnya China, pemerintahnya menggunakan diksi made in China 2025. Kemudian India menggunakan make in India dan lain-lain.

"Jadi memang kalau diperhatikan tidak ada negara-negara yang membuat diksi atau semacam yang diutarakan Pak Presiden yaitu benci produk asing. Sebenarnya diksi yang kita gaungkan sudah cukup bagus yaitu 100 persen produk Indonesia," tuturnya.

Ilustrasi kegiatan industri. (Foto: Dok. Kemenperin)

Selain menggunakan diksi 100 persen produk Indonesia, kata Heri, pemerintah juga bisa menggunakan tagline made in Indonesia 2024 ketimbang menggunakan diksi benci produk asing.

Ahmad Heri Firdaus mengaku tidak setuju dengan ajakan benci produk asing yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Sebab, strategi itu justru bisa memicu retaliasi atau tindakan balasan dari negara-negara mitra dagang.

Lebih lanjut, Heri mengatakan ajakan benci produk luar negeri atau asing tersebut justru mempersulit produk Indonesia untuk masuk ke pasar internasional.

"Penggunaan diksi benci produk asing itu menurut saya tidak tepat. Karena berpotensi akan memicu protes dari negara mitra dagang, di protes dong, juga memicu akan retaliasi nanti kalau kita di balas gimana benci produk Indonesia? Gawat juga itu justru akan mempersulit ekspor kita gitu kan," katanya.

Apalagi, kata dia, benci produk asing sendiri sangat kontra dengan pernyataan Jokowi untuk menggalakkan ekspor. Jika indonesia ingin meningkatkan ekspor, maka juga harus menambah impor karena adanya perjanjian dagang.

Menurut Heri, untuk menggalakkan penggunaan produk lokal, seharusnya pemerintah mendorong peningkatan hilirisasi industri. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas produk dan lebih kompetitif.

"Harus ada peningkatan hilirisasi, kalau tak kompetitif jangan dipaksakan," katanya.

Banjir produk impor karena konsekuensi dari perdagangan bebas

Ahmad Heri mengatakan arahan Jokowi untuk benci produk asing dilatarbelakangi oleh meningkatnya impor barang konsumsi yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir di tengah terjadinya booming e-commerce.

Lebih lanjut, dia berujar, pertumbuhan impor barang konsumsi memang sangat cepat jika dibandingkan dengan impor bahan baku atau penolong dan barang modal, meski porsinya dari total barang impor sekitar 10 persen.

Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Menurutnya, ketika terjadi booming e-commerce pada 2015 dan saat ini, namun daya saing produk lokalnya belum matang, maka digitalisasi di tengah liberalisasi akan mengakibatkan deindustrialisasi.

"Kecuali kalau kita mempersiapkan daya saing produk lokal dengan sangat baik, justru digitalisasi akan memberikan lompatan pada pertumbuhan industri kita," jelasnya.

Namun, Heri berujar kebanjiran barang impor yang dialami Indonesia merupakan konsekuensi atau implikasi dan keputusan pemerintah untuk mengikuti berbagai kerja sama perdagangan bebas.

Jika kerja sama perdagangan bebas dilakukan tanpa persiapan yang baik, kata dia, maka akan berdampak pada ancaman defisit neraca perdagangan. Bahkan hal ini akan mengakibatkan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan kesejahteraan masyarakat di negara-negara mitra.

Meski begitu, Heri mengatakan, ke depan, pemerintah memang perlu mengatur atau membuat kebijakan impor barang yang masuk melalui e-commerce dan impor yang selama ini belum mendapat aturan khusus. Hal ini untuk mendorong UMKM lokal agar dapat berkontribusi lebih besar dalam menyediakan produk dalam negeri.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengajak masyarakat Indonesia untuk membenci produk luar negeri. Ia meminta masyarakat untuk mencintai produk lokal.

"Produk-produk dalam negeri gaungkan, gaungkan juga benci produk-produk luar negeri. Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk luar negeri," katanya, dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Kamis, 4 Maret.

Pernyataan Jokowi menuai reaksi dari berbagai pihak. Menanggapi hal ini, Jokowi menyatakan sah-sah saja untuk tidak suka dengan produk asing atau buatan luar negeri. Menurutnya, ini saatnya masyarakat Indonesia untuk cinta dan bangga dengan produk-produk lokal.

"Boleh saja tidak suka sama produk asing, masa tidak boleh tidak suka, kan boleh saja tidak suka pada produk asing. Gitu saja ramai. Saya ngomong benci produk asing saja ramai, boleh kan tidak suka dengan produk asing," ungkap Jokowi dalam Rapat Kerja Nasional Hipmi 2021, Jumat, 5 Maret.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini berujar jangan sampai Indonesia menguntungkan produk luar negeri saja. Seharusnya, konsumsi terhadap produk dalam negeri yang ditingkatkan dan digaungkan.