Bagikan:

JAKARTA - Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mendukung keputusan Kejaksaan Agung untuk menyerahkan hak pengelolaan 5 smelter sitaan untuk dikelola oleh PT Timah Tbk.

"Di luar kasus hukum yang memang bukan domain saya, kalau memang kejaksaan sudah menyerahkan untuk dikelola smentara proses hukumnya masih jalan, saya kira sangat positif," ujar Fahmy saat dihubungi VOI, Jumat 26 April.

DIkatakan Fahmy, pertimbangan penyerahan hak pengelolaan smelter kepada PTBTimah adalah agar smelter yang ada tidak 'nganggur' dan kapasitas pengelolaannya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas ini.

Apalagi, kata dia PT Timah juga membutuhkan smelter-smelter tersebut untuk mengolah hasil tambang komoditas timah sehingga tidak perlu mencari smelter pengganti selama 5 smelter tersebut disita Kejaksaan.

"Menurut saya sangat positif asal Kejaksaan memang mengizinkan itu," kata dia.

Fahmy kemudian membandingkan kasus ini dengan kasus Pertamina yang sempat menyebabkan kilang berhenti beroperasi karena kasus hukum dan memakan waktu yang lama dan menyebabkan kerugian. Untuk itu, lanjut Fahmy, ketika Kejaksaan mengizinkan pengelolaan oleh PT Timah maka keputusan tersebut harus disambut dengan positif.

"Terkait hukumnya di luar domain saya dan saya engga paham tapi asumsinya kalau kejaksaan serahkan ke Timah akan lebih baik. Pertimbangannya bagaimana smelter bisa digunakan dan tidak nganggur, sangat positif karena nilai tambahnya diperhitungkan," pungkas Fahmy.

Asal tahu saja, Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia menyatakan lima smelter timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tetap dikelola, agar aset tersebut tidak rusak dan mengalami penurunan nilai.

"Aset sitaan ini tetap dikelola agar bisa memberikan peluang usaha dan pekerjaan bagi masyarakat," kata Kepala Badan Pemulihan Aset Kejagung Amir Yanto setelah rapat tertutup membahas pengelolaan lima smelter timah sitaan Kejagung di Pangkalpinang, dikutip ANTARA Selasa, 23 April.

Ia mengatakan saat ini sebanyak 30 persen masyarakat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih mengandalkan timah untuk perekonomian keluarganya, sehingga penambangan ini harus bersifat legal.