Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Berpotensi Turun Jadi 4,6 Persen Imbas Ketegangan Iran-Israel
Ilustrasi uang (ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan (Menkeu) pada periode 2014-2016, Bambang Brodjonegoro menyampaikan serangan Iran ke Israel berpotensi berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Menurut Bambang eskalasi konflik kedua negara tersebut dapat berimbas pada perubahan target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini dari 5,2 persen menjadi 4,6 persen hingga 4,8 persen.

"Mungkin (pertumbuhan ekonomi) bisa agak terdorong ke bawah, ke 4,6-4,8 persen karena keseimbangan eksternal yang terganggu, ditambah dengan potensi inflasi," ujar Bambang dalam acara 'Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI' yang diadakan oleh Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter, Senin, 15 April.

Bambang menyampaikan, konflik Iran dan Israel yang memanas akan menyebabkan gangguan eksternal, dan mengerek inflasi. Hal ini tentunya akan mengganggu konsumsi masyarakat dan akhirnya mengganggu prospek pertumbuhan ekonomi.

Namun, Bambang mengatakan masih ada harapan bagi Indonesia untuk mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 5,2 persen tahun ini.

Menurut Bambang salah satu faktor yang dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari konsumsi domestik saat penyelenggaraan pemilihan daerah (Pilkada) 27 November 2024 nanti. Namun konsumsi domestik tidak akan begitu tinggi. Sebab kampanye di era saat ini lebih banyak dilakukan melalui media sosial.

"Tapi kalau melihat dampak dari pemilu kemarin, pemilu sekarang agak beda daripada pemilu sebelumnya, karena pemilu sekarang orang mainnya di medsos (media sosial), jadi tidak banyak dampak konsumsi yang di luar konsumsi data atau internet," katanya.

Selain itu, Bambang melihat imbas konflik Iran-Israel dapat memperparah defisit transaksi berjalan (current account deficit) Indonesia. Lantaran kondisi eksternal ekonomi Indonesia sudah memasuki lampu kuning.

“Neraca perdagangan kita selalu surplus untuk dua tahun lebih, tapi saya lihat angkanya makin lama makin kecil. Ini sebenarnya sudah mulai lampu kuning,” katanya.

Bambang menyampaikan dalam dua tahun terakhir surplus neraca perdagangan semakin mengecil terlihat angkanya sudah berada di bawah 1 juta dolar AS.

Menurut Bambang kondisi tersebut dapat menjadi kritis karena neraca perdagangan barang akan sulit membaik karena adanya konflik di Timur Tengah yang semakin memanas sehingga menyebabkan harga komoditas global akan semakin naik tajam, dan distribusi rantai pasok komoditas juga akan terganggu.

“Terutama yang melalui Laut Merah dan Selat Hormuz,” ujarnya.

Selain it, Bambang menyampaikan neraca berjalan Indonesia juga akan mengalami gangguan karena tingkat suku bunga yang tinggi membuat permintaan global menjadi melemah. “Jadi, ekspor kita entah yang manufaktur maupun komoditas, dua-duanya tidak punya prospek bagus meskipun ada pelemahan rupiah,” tuturnya.

Menurut Bambang pelemahan rupiah, biasanya dapat menjadi berguna untuk menjangkau ekspor. Namun, masalahnya akan muncul ketika ekspor Indonesia masih didominasi produk komoditas. Padahal, era commodity booming telah berakhir sejak tahun lalu.

“Sehingga melemahnya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) itu tidak banyak membantu dalam konteks daya saing terutama produk manufakturing,” ucapnya.

Bambang menyampaikan tantangan lebih berat muncul pada sektor jasa, sebab, salah satu defisit yang muncul yaitu freight atau shipping.

“Dengan melemahnya rupiah terhadap dolar AS, ditambah kemungkinan terganggunya jalur distribusi Terusan Suez, Laut Merah, Selat Hormuz, termasuk Samudera Hindia, maka saya khawatirkan justru current account defisit kita bisa melebar,” katanya.