Bagikan:

JAKARTA - Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) resmi mengajukan uji materiil atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 58 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Uji materiil itu didaftarkan ke MK oleh Ketua Umum GIPI Haryadi Sukamdani yang didampingi oleh Kuasa Hukum DPP GIPI Muhammad Joni dari Managing Partner Law Office Joni & Tanamas bersama pelaku usaha hiburan lainnya, pada hari ini, Rabu, 7 Februari.

"GIPI telah resmi mendaftarkan gugatan kepada MK, yaitu terkait dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD, yaitu pasal 58 ayat 2," ujar Haryadi dalam konferensi pers di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, 7 Februari.

Haryadi mengungkapkan, permintaan utama pihaknya adalah meminta MK untuk membatalkan ketentuan dalam Pasal 58 ayat 2 UU HKPD. Sekadar diketahui, dalam pasal itu disebutkan bahwa Khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.

"Pasal 58 ayat 2 ini berisi pasal tentang perlakuan tarif yang berbeda untuk usaha jasa hiburan, yaitu kelab malam, diskotek, bar, karaoke dan mandi uap atau spa. Jadi, kami meminta untuk dibatalkan," kata dia.

"Kami lihat dari proses penetapan tarif itu sendiri tidak memiliki dasar perhitungan atau pertimbangan kuat. Jadi, terlihat sekali diskriminasinya," sambungnya.

Menurut Haryadi, pihaknya mengajukan uji materiil terhadap pasal 58 ayat 2 UU HKPD dengan menggunakan lima (5) acuan atau batu uji lima pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Ketentuan dalam Pasal 58 itu mereka anggap bertentangan dengan 5 pasal dalam UUD 1945.

Lima pasal batu uji dalam UUD 1945, yakni Pasal 28 ayat 1 tentang kepastian hukum yang adil; Pasal 28 i ayat 2 tentang larangan untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif; Pasal 28 g ayat 2 tentang perlindungan harta di bawah kekuasaannya; Pasal 28 h ayat 1 tentang layanan kesehatan; dan Pasal 27 ayat 2 tentang hak untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

"Jadi, ada 5 pasal di UUD 1945 yang kami nilai bertentangan dengan Pasal 58 khususnya menyangkut masalah diskriminasi karena dalam kategori 5 jenis usaha tadi dibedakan dengan yang lain," tuturnya.

Lebih lanjut, Hariyadi memperkirakan, persidangan dari uji materiil ini akan panjang lantaran MK akan memprioritaskan lebih dahulu persidangan sengketa pemilu karena saat ini sudah masuk pesta demokrasi 2024.

"Oleh karena itu, kami akan buat surat edaran (SE) ke seluruh pelaku jasa hiburan terdampak pasal 58 yang intinya kami imbau mereka untuk bayar tarif pajak sesuai tarif lama agar mereka tetap bisa bertahan," imbuhnya.