Bagikan:

JAKARTA - Transisi energi yang dilakukan di Indonesia bertujuan untuk menjaga daya saing Indonesia di mata dunia. Hal ini mengingat tidak lama lagi era perdagangan global akan berubah dengan memasukkan syarat yang cukup detail terkait produk yang dihasilkan.

"Saya dengar, Eropa itu akan mulai menerapkan carbon border tax-nya dua tahun lagi. Kan tidak lama, 2026 itu tidak lama untuk sebuah industri memastikan bahwa nanti akan bisa masuk ke sana," kata Sekretaris Jendral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mmengutip Antara.

Dadan mengatakan program transisi energi juga sejalan dan mendukung program pemerintah yang lain, misalkan untuk hilirisasi. Mendorong hilirisasi di era ini sangat penting kaitannya dengan daya saing dari produk yang dihasilkan. Jika perusahaan di Indonesia tidak mampu menunjukkan produknya dihasilkan dengan cara-cara hijau (green), akan dikenakan pajak karbon yang tentu membuat harga produk semakin tinggi.

"Jadi ke depan produk akan ditanya proses energi seperti apa. Nanti ada batas maksimal sekian bisa dilewati tapi hasilkan pajak karbon sehingga barang tambah biayanya, harganya tambah. Misalkan ada barang sama keluar dari Vietnam, dia sudah terapkan prinsip-prinsip ESG (environment, social, governance) dan green sudah sesuai jadi tidak ditambah biayanya dengan barangnya sama. Jadi sudah tahu yang mana yang akan dipilih, ini kaitannya tadi dengan daya saing," jelas Dadan.

Selain itu, transisi energi juga mendorong pemerataan pembangunan karena dengan EBT bisa dibangun industri berbasis hijau. Dadan menjelaskan di kawasan Papua, misalnya yang memiliki potensi hidro terbesar tapi hingga kini belum digarap. Padahal bisa jadi peluang untuk membangun industri rendah emisi.

"Potensi PLTA terbesar di sana (Papua) dari dulu ada, cuma belum ada yang pakai. Lalu di Marauke potensi angin besar. Kalau kita kembangkan, Papua memang menuju seperti Jawa lama, karena itu dorongannya supaya ada industri di sana," ujar Dadan.saat memberikan sambutan pada Energy and Mining Editor Society (E2S) Award 2023 dan diskusi bertema “Transisi Energi di Indonesia: Perspektif dan Peluang Bagi Pengelolaan Sektor ESDM yang Berkeadilan” di Jakarta, Jumat (12/1/2024).

Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) Julfi Hadi mengatakan dalam dua tahun terakhir pengembangan panas bumi mengalami kemajuan sejalan dengan program transisi energi yang digalakkan pemerintah. Julfi Hadi menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara dengan sumber daya panas bumi yang berlimpah.

“Indonesia punya the biggest reserve, terbesar ada di Jawa dan Sumatera. Geotermal bisa memainkan peran strategis di transisi energi. Harganya bisa berkompetisi,” ujarnya.

Julfi menekankan bahwa energi panas bumi dapat menjadi sumber energi pembangkit listrik baseload yang bisa menggantikan batu bara. Dalam hal ini, kata dia, pemerintah sudah berupaya menciptakan ekosistem yang baik. Karena itu, perlu dilakukan upaya mengganti bisnis model agar pengembangan energi panas bumi lebih optimal.

Dharma Djojonegoro, Direktur PT Adaro Power, mengungkapkan saat ini Adaro tengah mengembangkan the largest green industry park di Kalimantan Utara (Kaltara) di lahan seluas 16.000 hektar. Selain itu, akan dibangun pula pembangkit listrik tenaga baterai di Kalimantan Selatan.

“Kami juga membangun aluminium smelter di Kaltara Industrial Park, bertahap menjadi 1,5 juta ton. Singapura perlu renewable power, ini bagus untuk Indonesia. Diharapkan proyek ini bisa memecahkan telur, bisa dipakai untuk membangun industri manufaktur,” ujarnya.