Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah terus berupaya memulihkan perekonomian pascapandemi COVID-19.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 sebesar 2,07 persen, dari tahun-tahun sebelumnya di kisaran 5 persen.

Kemudian, perekonomian berangsur-angsur pulih dengan laju PDB sebesar 3,7 persen pada 2021 dan 5,31 persen pada 2022.

Namun, pemulihan ekonomi dunia berjalan lebih lambat dari yang diharapkan seiring dengan sejumlah sentimen eksternal yang menekan perekonomian, dari permasalahan geopolitik, tren suku bunga tinggi hingga krisis pangan dan energi.

Kondisi tersebut berdampak negatif bagi dunia usaha terlihat dari jumlah kasus kepailitan dan PKPU. Berdasarkan penelusuran dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dari lima pengadilan niaga yang ada di Indonesia, pandemi COVID-19 memicu terjadinya tren peningkatan permohonan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Sebagai informasi, jumlah permohonan kepailitan dan PKPU pada 2019 tercatat hanya 435 pengajuan.

Namun, jumlah permohonan meningkat drastis menjadi 635 permohonan di 2020, dan mencapai puncaknya pada 2021 dengan 726 permohonan.

Kemudian pada 2022, pengajuan permohonan mulai turun menjadi 625, dan hingga 14 Oktober 2023 menjadi 563 permohonan.

Melihat data tersebut, pengajuan permohonan kepailitan dan PKPU sepanjang Oktober 2023 masih lebih tinggi dari permohonan pada 2019, tentunya ekonomi belum bisa dikatakan pulih sepenuhnya.

Pada saat bersamaan, tekanan dan sentimen eksternal justru makin banyak yang dikhawatirkan dapat membatasi pemulihan ekonomi nasional.

Di sisi lain, pemerintah akan mengandalkan dan mengupayakan situasi dan kondisi yang kondusif di dalam negeri dengan sejumlah insentif untuk menggerakkan perekonomian di dalam negeri maupun jaminan hukum dan kepastian berusaha bagi sektor swasta.

Adapun jaminan hukum dan kepastian berusaha menjadi salah satu ganjalan bagi kemudahan berbisnis di Indonesia, di mana berdasarkan Indeks Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB) yang dikeluarkan oleh World Bank, peringkat Indonesia di dunia berada pada posisi 73 sejak 2018 hingga 2020.

Sementara di Asean, indeks EoDB Indonesia pada 2020 tercatat hanya 69,6, di bawah Vietnam 69,8; Brunei 70,1; Thailand 80,1; Malaysia 81,5 dan Singapura 86,2.

Peringkat kemudahan berusaha menjadi panduan dan patokan bagi setiap investor yang hendak menanamkan modalnya pada suatu yurisdiksi.

EoDB dianggap mewakili penilaian terhadap kemampuan entitas negara menjamin kemudahan akses terhadap pasar, perlindungan hak milik, dan kepastian regulasi sektor bisnis.

Selain itu, pemerintah menetapkan tiga poin indikator dalam program prioritas perbaikan sistem hukum pidana dan perdata yang termuat di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Tiga indikator tersebut diantaranya peringkat EoDB Indonesia untuk aspek penegakan kontrak, peringkat EoDB Indonesia untuk aspek penyelesaian kepailitan, dan peringkat EoDB Indonesia untuk aspek mendapatkan kredit.

Sebagai salah satu upaya untuk merealisasikan perbaikan sistem hukum itu, pemerintah juga telah mengajukan RUU tentang Perubahan atas UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2020-2024. Namun, hingga kini RUU perubahan tersebut belum juga dibahas.

Aspek Ekonomi

Senior Partner dan Head of the Dispute Resolution and Restructuring & Insolvency Practice Groups Hadiputranto, Hadinoto & Partners Andi Y Kadir mengungkapkan, proses kepailitan dan PKPU tidak hanya sekedar persoalan aspek legal tetapi juga menyangkut aspek ekonomi.

“Dalam proses restrukturisasi utang, kita tak hanya membicarakan soal infrastrukturnya [UU No. 37/2004] sudah memadai atau belum, tetapi juga soal recovery rate bagi kreditur serta perusahaan [debitur] yang melalui proses PKPU sudah menjadi perusahan yang sehat atau justru malah jadi zombie company,” jelasnya, Jumat 20 Oktober.

Andi menyebutkan, kurangnya konsistensi dalam penerapan UU No. 37/2004 mengakibatkan proses restrukturisasi utang berlarut-larut, tingkat recovery rate yang rendah hingga ketidakseimbangan kedudukan antara kreditur dan debitur menjadikan cost of financing di Indonesia menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.

Padahal, kata dia, semangat dan cita-cita mulia UU Kepailitan dan PKPU, yaitu restrukturisasi dan perdamaian melalui sebuah peradilan khusus yang memastikan penyelesaian sengketa berlaku secara adil, cepat, terbuka, dan efektif agar tercipta kepastian bagi dunia usaha.

Cost financing yang lebih tinggi ini pada akhirnya justru malah menganggu pemulihan ekonomi,” tegasnya.

Dia mencontohkan adanya perdebatan mengenai apakah suatu utang dapat dibuktikan secara sederhana, di mana persoalan ini menjadi salah satu poin yang banyak diperdebatkan dalam pengajuan permohonan pailit maupun PKPU.

Selanjutnya, kata Andi, UU No. 37/2004 sejatinya sudah mengatur bahwa klausul arbitrase yang disebut dalam perjanjian tidak menghilangkan kewenangan pengadilan niaga untuk memeriksanya.

Namun, menurut Andi, yang terjadi justru klausul arbitrase dipakai untuk menyatakan pengadilan niaga tidak berwenang.

"Yang terjadi sekarang ini justru malah sebuah kemunduran karena sebenarnya pasal tersebut diatur agar tidak memicu terjadi perdebatan.” jelasnya

Andi menambahkan, soal perjanjian kredit yang tunduk pada hukum asing apakah masih bisa atau tidak mengajukan permohonan pailit atau PKPU di Indonesia.

"Ini seringkali tidak konsisten. Padahal justru pengadilan niaga seharusnya menerima karena pengadilan niaga tidak bisa memeriksa itu akan menjadikan semua perkara perjanjian kredit yang tunduk pada hukum asing itu penyelesaiannya dibawa ke luar. Itu kan sebenarnya tidak bagus juga buat perkembangan hukum Indonesia,” jelasnya.

Andi menyampaikan ada kecenderungan bahwa UU, yang semangat dan tujuannya adalah restrukturisasi dan perdamaian, kini seringkali dijadikan sebagai alat untuk menagih utang atau bertolak belakang dengan restrukturisasi. Hal yang seringkali menimpa swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN).

Pendiri Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), yang juga Pengajar di Fakultas Hukum UI dan Anggota Tim Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung, Aria Suyudi mengungkapkan sejak berlakunya UU No. 37/2004, PKPU seringkali dijadikan sarana yang paling mudah untuk menagih utang, alih-alih melakukan perdamaian atau restrukturisasi.

Aria mengungkapkan ada kecenderungan prosedur kepailitan dan PKPU dieksploitasi sebagai strategi dispute, padahal tidak memenuhi kategori syarat pernyataan kepailitan.

“Itu menjadikan kepailitan dan PKPU tidak berjalan sesuai dengan fungsi seharusnya.” jelasnya

Lahir dari Krisis

Adapun UU Kepailitan dan PKPU memang tidak bisa dilepaskan dari kondisi perekonomian suatu negara.

UU Kepailitan di Indonesia sendiri lahir akibat krisis moneter pada 1997-1998.

Persoalan penyelesaian utang piutang perusahaan saat terjadinya gejolak moneter pada masa itu menjadi persoalan mendesak yang harus segera diselesaikan

Debitur maupun kreditur membutuhkan kepastian penyelesaian sengketa secara adil, cepat, terbuka, dan efektif melalui suatu pengadilan khusus untuk menangani, memeriksa, dan memutuskan berbagai sengketa di bidang kepailitan dan PKPU.

Untuk itu kemudian ditetapkanlah Perppu No. 1/1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan pada 22 April 1998, yang kemudian disahkan menjadi UU No. 4/1998 tentang Undang-Undang Kepailitan (UUK) pada 9 September 1998.

Enam tahun kemudian, karena adanya sejumlah kelemahan, UU No. 4/1998 dicabut dan direvisi menjadi UU No. 37/2004 yang berlaku hingga kini.

Berumur hampir dua dekade atau tepatnya 19 tahun, UU No. 37/2004 tentu butuh sejumlah penyesuaian dan penguatan berdasarkan kondisi dan situasi terkininya sejalan dengan perekonomian yang bergerak dinamis.