Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah baru saja mengesahkan Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Regulasi anyar ini salah satunya mengatur tentang pemisahan bisnis antara media sosial dan e-commerce atau social commerce.

Terkait hal tersebut, Staf Khusus Menteri koperasi dan UKM (Menkop UKM) Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif, Fiki Satari mengungkapkan, tentang bahayanya sebuah platform menjalankan bisnis media sosial dengan e-commerce secara bersamaan.

Dia mengatakan, setidaknya ada empat alasan yang membuat sebuah platform dilarang menjalankan bisnis tersebut secara bersamaan.

Pertama, sebuah platform bisa memonopoli pasar. Ironisnya, monopoli alur traffic dijalankan tanpa disadari oleh pengguna. Mereka diarahkan untuk membeli produk tertentu tanpa mereka sadar.

"Monopoli terjadi apabila ada platform yang mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pasar, penetapan harga yang tidak adil, perlakuan yang berbeda, dan penetapan harga diskriminatif berdasarkan data yang dipunyai," kata Fiki lewat keterangan tertulisnya di Jakarta, pada Selasa, 3 Oktober.

Kedua, platform bisa memanipulasi algoritma. Platform yang memiliki media sosial dan e-commerce secara bersamaan bisa dengan mudah mendorong produk asing tertentu untuk muncul terus menerus di media sosial pengguna dan di saat bersamaan mempersulit produk lokal untuk muncul di media sosial.

"Manipulasi algoritma ini memungkinkan platform untuk menguntungkan satu produk dan di saat bersamaan mendiskriminasi produk lainnya," ujarnya.

Ketiga, platform bisa memanfaatkan traffic. Media sosial mempunyai traffic yang sangat besar dan saat ini dapat dimanfaatkan menjadi navigasi atau trigger dalam pembelian di e-commerce.

Trigger pembelian ini tidak boleh ditangkap oleh e-commerce yang berada dalam satu platform dengan media sosial. Jika ini terjadi, tidak ada equal playing field dalam industri digital di Indonesia.

Alasan keempat, kata Fiki, perlindungan data. Jika berkaca kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, pemrosesan data pribadi dilakukan sesuai dengan tujuannya, karena media sosial tujuannya untuk hiburan, maka data yang didapat dari situ tidak untuk diperdagangkan.

"Data demografi pengguna dan agregat pembelian sangat memungkinkan untuk diduplikasi sebagai basis pembuatan produk sendiri atau terafiliasi oleh platform yang menjalankan bisnis secara bersamaan," ucapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, sebuah platform memang sudah sewajarnya untuk dilarang menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan.

Bhima menilai, jika regulasi tersebut tidak diatur, nantinya berpotensi menghadirkan persaingan dagang yang tidak sehat.

"Kalau di luar negeri memang dipisah, jadi sosial media dan e-commerce itu dipisah atau tidak jadi satu," tuturnya.