JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa perlambatan ekonomi di negara maju, termasuk China, telah menimbulkan implikasi serius bagi upaya pemulihan global dan juga permintaan energi.
Menurut dia, ketidakpastian ini membawa kesulitan dalam memprediksi bagaimana perkembangan harga minyak dan gas ke depannya.
“Dalam skala global, kita lihat Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur pada Agustus 2023 berada di zona kontraksi. Ini menunjukan bahwa perekonomian masih rapuh dan rentan,” ujarnya di Bali saat berbicara di forum The 4th International Convention On Indonesian Oil and Gas (ICIOG), Rabu, 20 September.
Menurut Menkeu, hal ini didukung oleh prediksi IMF yang menyebut bahwa proyeksi ekonomi dunia 2023 akan melambat dengan pertumbuhan hanya 3 persen atau lebih rendah dari tahun lalu dengan realisasi 3,2 persen.
“Di sisi lain, inflasi global masih tinggi. Dengan harga minyak yang ada saat ini maka tekanan inflasi diperkirakan akan berlanjut utamanya di negara maju,” tuturnya.
Khusus di wilayah Eropa, Menkeu menyebut jika angka inflasi yang tinggi direspon dengan menaikan suku bunga acuan secara agresif.
BACA JUGA:
“Kami menilai ini akan memberi implikasi (tekanan) terhadap performa ekonomi mereka,” kata dia.
Dalam kesempatan itu Menkeu memastikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia cenderung memiliki daya tahan yang lebih baik dibandingkan dengan negara maju.
“Dalam konteks global ini, situasi ekonomi Indonesia sekarang resilience dan relatif kuat. Pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,2 persen di kuartal II/2023 didukung oleh permintaan domestik yang kuat disaat permintaan mancanegara atau ekspor melemah,” tegasnya.
“Pembukaan kembali aktivitas ekonomi setelah dampak pandemi memberikan kami dampak positif, terutama di sektor-sektor yang tertekan dalam seperti pariwisata, transportasi, dan restoran. Disini, para peserta bisa lihat bahwa Bali dalam dua atau tiga tahun yang lalu hotel-hotel banyak yang kosong namun sekarang sudah kembali terisi,” sambung Menkeu Sri Mulyani.