JAKARTA - Ketua Komite Tetap Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Arya Rizqi Darsono menilai, kesiapan industri dalam negeri belum mumpuni dalam menyerap roduk olahan nikel hasil hilirisasi.
Menurutnya, Indonesia baru berhasil menciptakan produk setengah jadi dan masih harus diekspor ke luar negeri dan kembali melakukan impor barang jadi.
"Bicara hilirisasi tentu perlu market untuk menyerap. Untuk nikel kan feronikel, nikel matate masih half finish produk," ujar Rizqi dalam Mining Zone yang dikutip Selasa 19 September.
Untuk itu, ia berharap, Indonesia memiliki banyak smelter dengan teknologi hidrometalurgi yang tidak hanya memproduksis katoda sebagai bahan bakau baterai, melainkan bisa menghasilkan barang jadi.
Setelah menghasilkan baterai sendiri, kata dia, Indonesia memiliki market yang bisa menyerap produk yang sudah dihasilkan oleh industri baterai.
"Tentunya harus buat formulasi kebijakan terkait mobil listrik misalnya diberikan kemudahan pajak atau insentif fiskal lainnya sehingga makin banyak bisa diserap sehingga makin banyak," lanjut Rizqi.
Ia mencontoh, industri bauksit yang selama ini baru berhasil mengolah bijih bauksit menjadi alumina dan aluminium,
"Sedangkan alumina saja menghasilkan 14 juta ton dan yang bisa diserap Inalum kurang lebih 500 sampai 750.000 ton. Ujungnya ekspor juga," imbuhnya.
Untuk itu ia berharap, Indonesia memiliki market yang bisa mneyerap produk setengah jadi dan menghasilkan produk yang bisa langsung digunakan dalam negeri.
BACA JUGA:
Selain nikel dan bauksit, Rizqi kembali mencontoh pasir silika yang sebelumnya akan diberlakukan larangan ekspor oleh pemerintah.
Kata dia, Pemerintah perlu menyiapkan market seperti pengolahan panel surya maupun kaca yang benar-benar bisa memanfaatkan pasir silika secara maksimal.
"Jangan sampai nanti pelaku usaha sudah ready hiliriasasi , produknya malah tidak terserap. Ini saya kira ke depan sama-sama kita bisa duduk bersama bagaimana rumuskan formulasi kebijakan yang bisa diterapkan pelaku usaaha," pungkas Rizqi.