Indonesia Tak Alami Deindustrialisasi, Begini Penjelasannya
Ilustrasi manufaktur (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Peneliti senior LPEM FEB UI sekaligus Tenaga Ahli Menteri Keuangan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Kiki Verico membantah Indonesia sedang mengalami deindustrialisasi. Menurutnya, hal tersebut kurang tepat karena pertumbuhan industri manufaktur masih menggeliat hingga triwulan II-2023.

"Sebab, inflasi Indonesia rendah, nilai tukar rupiah masih stabil, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5 persen, lebih tinggi daripada inflasinya. Jadi, ekonomi kami masih resilience," ujar Kiki melalui keterangan tertulisnya, dikutip Rabu, 9 Agustus.

Kiki mengatakan, industri manufaktur merupakan sektor terbesar ketiga dalam penyerapan tenaga kerja. Sektor manufaktur merupakan game changer.

"Indonesia disebut emerging karena pertumbuhannya di atas pertumbuhan ekonomi dunia dan menjadi the puller of global economic growth. Sehingga, dunia melihat Indonesia sebagai sumber pertumbuhan," kata dia.

Untuk mempertahankan hal tersebut, Kiki menyarankan percepatan pertumbuhan perlu dikejar sebelum terjadi penurunan deviden demografi yang diperkirakan terjadi pada 2037.

"Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen, Indonesia perlu menguatkan struktur melalui manufaktur, sehingga kontribusinya dapat kembali pada kisaran 28-30 persen. Pertumbuhan sektor manufaktur diharapkan mencapai 9-10 persen," ucapnya.

Dia menambahkan, langkah yang perlu diambil untuk meningkatkan kontribusi sektor manufaktur adalah dengan melakukan transformasi struktural, seperti peningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) manufaktur, dan pengembangan ekonomi inklusif manufaktur penerapan teknologi digital.

Selain itu, dengan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi manufaktur dunia, termasuk pada produk-produk green industry.

"Indonesia juga memiliki potensi untuk mengembangkan aftersales service (jasa purnajual) untuk produk-produk industri. Kegiatan R&D dan inovasi sangat diharapkan berkembang di Indonesia," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Febri Hendri Antoni Arif mengatakan industri manufaktur nonmigas berkontribusi sebesar 27,4 persen terhadap total penerimaan pajak pada periode Semester I 2023 yang mencapai Rp970,20 triliun.

"Seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, penerimaan pajak dari sektor industri pengolahan sedang mengalami tren menurun. Namun demikian, indikator-indikator masih menunjukkan bahwa kinerja sektor industri tetap produktif. Inilah yang terus kita jaga," kata Febri dalam keterangan di Jakarta, dikutip Rabu 26 Juli.

Indikator yang dimaksud adalah Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI). Ia menyebutkan di antara lebih dari 40 negara di dunia yang disurvei oleh S&P Global, sekitar 61,9 persen di antaranya mengalami kontraksi yang ditunjukkan oleh PMI di bawah 50.

"Sedangkan Indonesia selama 22 bulan berturut-turut atau hampir dua tahun terus berada di fase ekspansif dengan nilai PMI manufaktur di atas 50," ujarnya.

Febri menambahkan, kondisi PMI manufaktur dunia pada Januari-Agustus 2022 berada pada posisi ekspansi, namun kontraktif dengan rata-rata di angka 49 pada September 2022-Juni 2023.

"Namun demikian, PMI manufaktur Indonesia dan ASEAN masih lebih baik dibandingkan PMI manufaktur dunia, dengan rata-rata di atas 50," jelasnya.