BI di Persimpang Jalan: Naikkan Suku Bunga Ikuti The Fed atau Konservatif karena Inflasi Turun
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Bank Indonesia (BI) diketahui sudah menetapkan suku bunga acuan sebesar 5,75 persen sejak 19 Januari 2023.

Level tersebut tidak berubah setelah sebelumnya BI mengerek suku bunga secara gradual mulai paruh kedua 2022 demi meredam laju inflasi.

Kebijakan strategis bank itu kini mendapat dua tantangan tersendiri.

Pertama, pergerakan inflasi yang semakin terjaga membuat otoritas moneter diprediksi bakal mempertahankan BI rate.

Gubernur BI Perry Warjiyo sempat menyatakan bahwa inflasi turun lebih cepat dari perkiraan awal, yakni pada Agustus 2023.

Hal itu tercermin dari inflasi umum (indeks harga konsumen/IHK) yang sudah mencapai 4,00 persen year on year (yoy) pada Mei 2023.

Bahkan, angka ini dipertajam menjadi 3,52 persen di penutupan Juni lalu.

Torehan itu jelas sudah masuk dalam target 3 persen plus minus 1 untuk sepanjang tahun ini.

Pun demikian dengan inflasi inti yang menjadi patokan khusus dalam penetapan suku bunga. P

er Juni inflasi inti bertengger di level 2,58 persen yoy, lebih baik dari Mei yang sebesar 2,66 persen.

Kemudian apabila dikaji secara bulanan (month to month/mtm), inflasi inti hanya naik tipis menjadi 0,12 persen dari sebelumnya 0,06 persen. Bukuan itu lebih terjaga dibandingkan periode Lebaran April 2023 yang sebesar 0,25 persen.

Adapun, tantangan kedua datang dari faktor eksternal, yakni Bank Sentral AS The Federal Reserve alias The Fed. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI terakhir Juni lalu, Perry mengungkapkan jika pihaknya mendapati sinyal The Fed bakal kembali hawkish dengan menaikan suku bunga acuan.

Baseline kami Fed Fund Rate akan naik (menjadi) 5,50 persen pada bulan Juli,” ujarnya.

Dia menjelaskan, prediksi ini didasarkan pada perkembangan terkini ekonomi Amerika dan juga pernyataan Gubernur The Fed serta anggota-anggota yang lain.

“Terlebih lagi inflasi tinggi terjadi di sektor jasa (tenaga kerja). Dahulu ada kebijakan imigrasi untuk menyuplai tenaga kerja, namun sekarang dibatasi. Itulah kenapa memerlukan waktu yang lebih lama bagi efektivitas kenaikan Fed Fund Rate untuk menurunkan inflasi,” katanya.

Secara terperinci, Perry menyebut, jika persoalan yang membelit AS berkutat pada sisi permintaan (demand) yang tinggi tanpa mampu dipenuhi oleh aspek penawaran (supply).

Untuk diketahui, BI juga memiliki kepentingan untuk bersikap adaptif terhadap kebijakan The Fed lantaran tugasnya menjaga nilai tukar rupiah.

Selain itu, Bank Indonesia mempunyai misi tersendiri untuk membantu pasar obligasi pemerintah tetap menarik bagi investor dari sisi yield yang ditawarkan.

Asal tahu saja, redaksi mendapati hal menarik saat konferensi pers RDG terakhir Juni lalu.

Kala itu, Gubernur Perry tidak lagi menggunakan terminologi “memadai” untuk menggambarkan level suku bunga yang dianggap telah cukupi.

Padahal, bank sentral sebelumnya selalu menyatakan BI rate sudah “memadai” untuk mengakomodir target-target ekonomi sampai dengan akhir tahun.

Jadi, apakah ini menjadi sinyal Bank Indonesia untuk kembali menaikan suku bunga lebih tinggi dari 5,75 persen? Jawabannya ada pada Rapat Dewan Gubernur 24-25 Juli 2023 mendatang.