Bagikan:

JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa inflasi umum (indeks harga konsumen/IHK) turun menjadi 3,52 persen year on year (yoy) pada Juni dari sebelumnya 4,00 persen saat Mei lalu.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengungkapkan bahwa kondisi itu terjadi lantaran dua hal.

Pertama, terkendalinya pergerakan inflasi bergejolak, utamanya dari bahan makanan (volatile food). Kedua, penurunan inflasi harga yang diatur pemerintah (administered price) seiring dengan semakin ternetralisirnya kenaikan harga BBM di paruh kedua tahun lalu.

Adapun, inflasi inti hanya bergerak tipis menjadi 0,12 persen month to month (mtm) pada Juni berbanding 0,06 persen saat Mei lalu. Angka ini terbilang moderat jika dikomparasikan ke periode Lebaran April 2023 yang sebesar 0,25 persen mtm.

Inflasi inti yang relatif terjaga itu, terkonfirmasi dengan catatan secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 2,58 persen per Juni dari sebelumnya 2,66 persen per Mei.

“Inflasi pada emerging market and developing economies (termasuk Indonesia) diprediksi menurun seiring dengan harga komoditas yang lebih rendah,” kata Pudji mengutip laporan World Economic Outlook, Senin, 3 Juli.

Adapun, paparan BPS tersebut menjadi kabar baik bagi Bank Indonesia (BI). Pasalnya, otoritas moneter sangat concern terhadap laju inflasi lantaran terkait stabilitas nilai tukar rupiah dan penetapan suku bunga acuan.

Malahan, bank sentral dengan tegas menyebut bahwa perhitungan inflasi, khusus inflasi inti, adalah salah satu acuan utama dalam kebijakan interest rate karena terhubung langsung dengan aspek penawaran (supply) dan permintaan (demand) di pasar.

Asal tahu saja, Bank Indonesia sudah mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen sejak 19 Januari 2023 yang lalu.