JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pada pekan ini menegaskan bahwa pemerintah tengah mengebut penyelesain revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 terkait dengan perluasan sektor prioritas ekspor untuk bisa mendongkrak devisa hasil ekspor (DHE).
Dalam keterangannya, Menkeu menyebut jika beleid yang akan terbit di Februari ini tidak hanya fokus pada sektor utama sumber daya alam (SDA), tetapi juga perdagangan manufaktur yang berkaitan dengan hasil alam.
“Ini menyangkut sektor SDA yang sudah eksisting dan juga manufaktur. Nanti kita lihat manufaktur ini yang juga terkait SDA, jadi tidak semua manufaktur,” ujarnya.
Bendahara negara menjelaskan, melalui regulasi ini diharapkan bisa mendorong pelaku usaha menempatkan DHE di dalam negeri dan tidak memarkir dananya di luar negeri. Menurut Menkeu, hal ini penting untuk memperkuat aspek ekonomi maupun moneter Indonesia.
Walau begitu, dia memastikan pemerintah akan mengurangi intervensi berlebihan mengingat pendapatan devisa tersebut merupakan hak pengusaha.
“Kita mendesain agar tidak bertentangan dengan rezim devisa bebas. Di satu sisi Indonesia perlu memastikan ekspor yang tumbuh tinggi harus bisa memperkuat cadangan devisa, dan di sisi lain Indonesia tetap komitmen untuk tidak men-discourage kegiatan ekspor,” tuturnya.
Insentif Bank Indonesia
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) telah lebih dulu menerapkan kebijakan pemberian insentif term deposit (TD) valas kepada perbankan yang berhasil menghimpun dolar dari pengusaha atas kegiatan ekspor mereka.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengungkapkan jika pihaknya akan memberikan fee kepada perbankan nasional apabila langsung meneruskan simpanan dolar ke Bank Indonesia.
Selain itu, BI juga membuat kebijakan jika simpanan dolar ini tidak dianggap sebagai dana pihak ketiga (DPK) sehingga bank tidak memiliki kewajiban dari sisi giro wajib minimum (GWM).
Selain itu, otoritas moneter juga berupaya menarik eksportir Indonesia agar mau menempatkan dolarnya di dalam negeri melalui penetapan suku bunga yang kompetitif sesuai dengan mekanisme pasar.
“Devisa (dolar) yang masuk akan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah,” tegas Destry.
BACA JUGA:
Fenomena dolar raib
Sebagai informasi, upaya pemerintah dan BI untuk memperkuat struktur devisa tidak lepas dari anomali yang terjadi saat ini. Bank sentral menyebutkan bahwa peningkatan nilai ekspor yang terjadi pada sepanjang tahun lalu tidak disertai dengan masuknya aliran modal asing secara signifikan.
“Memang ekspor kita di 2022 itu tinggi sekali, 291 miliar dolar AS dengan trade balance kita sekitar 55 miliar. Pada saat itu ada rasa, kenapa ya dana tersebut tidak masuk ke perbankan kita,” ucap Destry.
Concern terhadap devisa diperkuat oleh data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga pimpinan Margo Yuwono itu melansir bahwa hingga Desember 2022 yang lalu neraca perdagangan Indonesia sudah mengalami surplus selama 32 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Malahan, pada akhir 2020 Indonesia berhasil membukukan sebesar 54,5 miliar dolar AS atau menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah RI. Torehan gemilang tersebut tidak lepas dari melonjaknya harga komoditas unggulan ekspor, seperti batu bara dan minyak sawit (crude palm oil/CPO).