Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi nasional di angka 5,1 hingga 5,3 persen. Hal ini berangkat dari tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia yang mengalami penurunan.

Di mana tingkat pengangguran menurun menjadi 5,8 persen pada Agustus 2022 dan penurunan kemiskinan menjadi 9,54 persen pada Maret 2022.

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan dari pencapaian tersebut, pihaknya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan berada sedikit di bawah proyeksi pemerintah.

Bhima menjelaskan faktor penyebab pelemahan pertumbuhan ekonomi ini disebabkan perlambatan ekspor karena dampak potensi resesi ekonomi global. Selain itu, harga komoditas yang mulai mengalami moderasi dan konsumsi masyarakat.

“Proyeksinya ekonomi tahun ini masih bisa tumbuh di atas 4,7 persen,” kata Bhima, di Jakarta, Jumat, 27 Januari.

Namun, Bhima masih optimistis karena masyarakat mulai bergerak, dan pembatasan sosial dicabut.

“Begitu ekonomi mulai bergerak lagi, pekerja yang tadinya dirumahkan dan di PHK mendapat panggilan kerja kembali,” ujarnya.

Contohnya, sambung Bhima, di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif mulai bergeliat kembali, dan adanya pembukaan lowongan kerja.

“Apabila kesempatan kerja naik, maka angka kemiskinan bisa ditekan,” katanya.

Bhima mengatakan, meski sempat melemah daya beli masyarakat, namun ekonomi domestik Indonesia adalah ‘blessing is disguise’.

“Indonesia punya blessing in disguise di tengah tekanan resesi global. Pertama, pasar domestik besar apalagi ada 190 juta usia produktif. Kedua, UKM cukup berkontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja. Dan hanya 18 persen UMKM yang berorientasi ekspor menjadi lebih imun dari melemahnya geliat ekonomi di negara tujuan ekspor” ucap Bhima.

Untuk itu, Bhima mengatakan agar perekonomian nasional semakin menggeliat, pemerintah perlu memberi stimulus di awal 2023 ini. Seperti, relaksasi pajak, pembukaan kesempatan kerja yang lebih besar, dan kecepatan serapan belanja anggaran di pusat dan daerah.

Lanjutkan Bantuan Sosial

Sementara itu, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai penurunan kemiskinan itu lebih disebabkan oleh faktor adanya bantuan sosial (bantuan sosial) dari pemerintah untuk masyarakat dibanding pembukaan lapangan kerja baru.

“Kalau penurunan itu, menurut saya karena bansos. Kalau lapangan kerja malah agak kontraproduktif karena selama ini penciptaan lapangan kerja lemah, tetapi untuk sektor pertanian dan perkebunan naik,” tegasnya.

Trubus mengatakan selama pandemi COVID-19 para pekerja pabrik kembali ke desa untuk bekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan UMKM. Untuk itu, Trubus menyarankan agar pemerintah memprioritaskan sektor tersebut untuk mengantisipasi ancaman krisis global.

Tak hanya itu, Trubus menilai bantuan sosial (bansos) juga harus dilanjutkan karena ini menjadi andalan, meski penciptaan lapangan pekerjaan baru juga sangat mendesak. Pemerintah harus menyadari sektor yang aman dan potensial dari gerusan krisis global seperti perkebunan, pertanian, UMKM, koperasi, dan teknologi.

Lebih lanjut, Trubus mengatakan, bansos akan berfungsi untuk menggerakkan ekonomi di level masyarakat bawah, sehingga konsumsi dalam negeri bisa tetap terjaga. Kendati demikian, pemerintah juga diminta untuk melakukan perbaikan tata kelola, evaluasi dan pengawasan penyaluran bansos.

“Bansos tetap jalan, mengapa? Karena bansos menjadi 'tumpuan' bagi masyarakat bawah, sekaligus menggerakkan ekonomi di bawah,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 5,3 persen. Hal ini berangkat dari pertumbuhan ekonomi di 2022 yang berhasil tumbuh di atas 5 persen.

“Fondasi perekonomian masih kuat. Konsumsi, investasi, dan ekspor menggerakkan perekonomian nasional,“ ujar Menko Airlangga.

Apalagi, kata Airlangga, pemulihan ekonomi dari dampak COVID-19 terus berlanjut, konsolidasi fiskal berjalan lebih cepat dari target perkiraan dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah kembali ke bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) yakni 2,38 persen dari PDB.