Bagikan:

JAKARTA - Indonesia merupakan salah satu negara produsen sawit terbesar di dunia. Namun sayangnya, selama ini Indonesia belum mempunyai bursa komoditi sendiri dan masih mengikuti harga acuan dari bursa negara tetangga Malaysia.

Karena itu, Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menargetkan bursa komoditi khusus sawit di tahun ini.

Plt Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko menjelaskan bahwa dengan adanya bursa berjangka komoditi maka pencatatan dan pembentukan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dapat lebih transparan.

Tak hanya itu, Didid mengatakan dengan melakukan transaksi di bursa berjangka diharapkan dapat sarana untuk pembentukan harga dan referensi harga atau price reference.

“Dengan masuk ke dalam bursa harga yang terbentuk juga tidak dapat di atur semata antara pemilik komoditi dan buyer di luar negeri. Negara akan diuntungkan dengan harga pasar yang wajar dan dapat memberikan keuntungan kepada semua pihak mulai dari petani, pedagang, pengusaha bahkan negara dari sisi penerimaan pajak,” katanya dalam pembukaan rapat kerja Bappebti secara virtual, Kamis, 19 Januari.

Namun, Didid mengakui pembentukan bursa berjangka komoditi menemui berbagai macam hambatan. Salah satunya, data transaksi komoditas di Indonesia belum bisa diandalkan.

“Data transaksi komoditas yang terdapat di Indonesia saat ini, masih belum dapat diandalkan,” jelasnya.

Akibat belum adanya data yang bisa diandalkan, kata Didid, proses penetapan harga referensi di bursa berjangka pun kurang optimal.

Karena itu, sambung Didid, pendirian bursa berjangka komoditi khusus sawit menjadi salah satu prioritas Bappebti di tahun ini.

“Pada tahun 2023 ini kami juga merencanakan pembentukan harga acuan komoditi atau kami sebut dengan price reference sesuai dengan mandat UU 32/1997 tentang perdagangan berjangka komoditi,” ucapnya.