Bagikan:

JAKARTA - Pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai pemerintah harus fokuskan kebijakan untuk menggenjot investasi, khususnya investasi asing.

Hal itu dilakukan untuk menjaga pertumbuhan perekonomian Indonesia di tengah gejolak global tahun ini.

“Saya kira untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi, maka mau tidak mau investasi dari luar harus masuk ke Indonesia. Jadi saya kira fokusnya bagaimana meningkatkan investasi itu,” ujar Fahmy Radhi, Rabu, 4 Januari.

Fahmy menilai, struktur ekonomi Indonesia masih cukup kuat dalam menjalani tahun 2023 meski diprediksi punya banyak tantangan.

Namun, ekonomi Indonesia akan dihadapkan pada kondisi ekonomi dunia yang masih berkutat dengan proyeksi pelambatan ekonomi, ancaman krisis pangan dan energi, hingga bayang-bayang resesi global.

“Saya melihat pondasi struktur ekonomi Indonesia ini relatif kuat. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, tahun depan diperkirakan 5,2 persen, inflasi di bawah dobel digit. Artinya dengan modal seperti sekarang ini, ke depan itu saya masih yakin dan optimistis bahwa prospek ekonomi Indonesia akan sangat bagus,” tuturnya.

Tapi, lanjut Fahmy, pemerintah juga perlu memberikan insentif fiskal agar menarik investor. Menurut Fahmy, pemerintah bisa memilih investasi pada sektor hilirisasi pertambangan.

“Saya kira yang diawali Jokowi dengan melarang ekspor nikel, bauksit, ini kan butuh hilirisasi. Saya kira itu yang harus menjadi fokus, agar kebijakan Jokowi melarang ekspor bisa ditindaklanjuti untuk menambah nilai tambah,” ungkapnya.

Selain itu, sambung dia, investasi juga mampu membuka banyak lapangan kerja. Hal itu akan sangat membantu ekonomi masyarakat. Menurut Fahmi, lapangan pekerjaan bisa dibuka dalam jumlah yang besar kalau ada pabrik-pabrik yang beroperasi di Indonesia. Maka perlu ada fiskal insentif agar mereka tertarik investasi di Indonesia.

“Jadi investasi tadi berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, ini hal kritis yang penerintah harus memprioritaskan,” tuturnya.

Jaga Daya Beli

Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan, pertumbuhan ekonomi tahun depan berada di angka 4,5 persen.

Ketangguhan ekonomi dalam negeri diuji, khususnya konsumsi masyarakat, inflasi dan iklim investasi di tahun politik 2023-2024.

“Masyarakat akan fokus dulu pemenuhan kebutuhan pokok, apalagi ada ancaman resesi global. Kinerja ekspor pun terpengaruh perlambatan di 3 kawasan utama yakni Eropa, AS dan China. Dimana realisasi investasi di tahun politik cenderung penuh tantangan terutama yang berasal dari ketidakpastian kebijakan,” kata Bhima.

Bhima mengatakan agar Indonesia tidak terseret resesi global, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah relaksasi pajak.

“Relaksasi pajak khususnya PPN dari 10 persen diturunkan ke 7-8 persen untuk jaga tingkat konsumsi rumah tangga dan omset pelaku usaha khususnya ritel yang mulai pulih,” jelas Bhima.

Kemudian, kata Bhima, bantuan sosial (bansos) maupun subsidi terus dilanjutkan, khususnya bagi masyarakat terdampak.

“Memberikan subsidi transportasi publik dan penambahan armada secara besar-besaran agar masyarakat yang terbebani kenaikan harga BBM bisa beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik,” ungkapnya.

Lalu, lanjut Bhima, jelang bulan Ramadan 1444 H/2023 M pemerintah juga harus mengantisipasi harga-harga. Memutus mata rantai pasokan pangan yang terlalu panjang.

“Sekaligus menambah alokasi subsidi pupuk untuk mencegah volatilitas harga pangan terutama menjelang ramadhan dan Idul Fitri 1444 H/2023 M mendatang,” pungkas Bhima.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengungkapkan optimismenya pada kondisi perekonomian Indonesia, begitu juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

“Mari kita sambut tahun 2023 dengan penuh rasa syukur, semangat dan optimisme untuk menjadi individu warga dan komunitas bangsa yang lebih baik, lebih sejahtera, lebih bersatu dan harmoni, serta lebih maju dan berkah,” kata Airlangga.