Bagikan:

JAKARTA - Proses perundingan panjang terkait penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dengan Vietnam hingga hari ini belum menemukan kata sepakat.

Proses perundingan yang tak kunjung usai tersebut membuat berbagai pihak akhirnya buka suara dan meminta agar pemerintah dapat tegas serta jangan sampai merugikan Indonesia. Pasalnya, Laut Natuna Utara menyimpan kekayaan alam yang sangat melimpah.

Di samping itu, masih terdapatnya kapal berbendera asing yang ada di Laut Natuna Utara juga dinilai telah merugikan Indonesia. Di mana, illegal fishing tersebut dilakukan dengan alat jenis pair trawl yang termasuk dalam kategori merusak Sumber Daya Ikan (SDI).

Ocean Justice Initiative (IOJI) menyatakan, selama periode Juli hingga September 2022 sebanyak 54 Kapal Ikan Asing (KIA) berbendera Vietnam masih terus melakukan illegal fishing di Laut Natuna Utara.

Anggota DPD RI asal DKI Jakarta Fahira Idris dalam pernyataan tertulis di Jakarta, dikutip Selasa 13 Desember, menegaskan Indonesia harus tegas dalam soal perundingan batas ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif)dengan Vietnam dan IUU fishing oleh Vietnam agar menjaga kepentingan nasional.

"Kita tahu bersama penetapan batas ZEE RI-Vietnam merugikan kedaulatan dan sektor perikanan Indonesia. Bahkan yang membuat kita semua gerah adalah, pemerintah Indonesia telah memberikan konsesi ke Vietnam dalam perundingan, namun di saat proses memajukan perundingan sedang berlangsung, kegiatan illegal fishing oleh kapal Vietnam di daerah Laut Natuna Utara tidak pernah berhenti. Ini jelas-jelas tindakan yang tidak bisa dibenarkan," ujar Fahira.

"Terkait pemberian konsesi, saya meminta jika ada draft konsesi atau perjanjian yang diajukan oleh pihak Indonesia dan pihak Vietnam harusnya dijabarkan kepada publik. Tidak boleh ada satu pun klausul yang diajukan justru akan merugikan kita. Saya menghimbau publik untuk mengawal tiap proses perundingan batas ZEE dengan vietnam," tegas Fahira Idris.

Menurutnya, DPR RI sesuai tupoksinya harus mengawasi dan mengawal serta memastikan proses perundingan dengan Vietnam ini tidak sedikitpun merugikan kepentingan nasional.

Hal yang sama juga harus dilakukan kementerian dan lembaga terkait. Poinnya adalah, Indonesia tidak boleh kehilangan wilayah laut dan potensi sumber daya ikan dalam perundingan ini.

Pasalnya, maraknya IUU fishing yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia mulai dari dampak ekologis, dampak ekonomi, dan citra Indonesia di dunia internasional.

Patut diakui bahwa penegakan hukum dan regulasi perikanan Indonesia masih lemah. Kondisi inilah yang membuat kapal Vietnam semakin berani terutama di Natuna. Ini menjadi persoalan serius karena kapal Vietnam yang melaut menggunakan alat tangkap pair trawl atau pukat harimau.

Akibatnya, nelayan menjadi semakin terpuruk karena di pesisir harus berhadapan dengan kapal cantrang dan di laut lepas Natuna Utara berhadapan dengan kapal asing pencuri ikan.

"Saya meminta, pemerintah Indonesia tegas dalam masalah tersebut, karena kita memiliki wewenang dan kewajiban utama mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk menindak pelanggaran pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) di ZEE Indonesia. Kita harus tegaskan kepada Vietnam bahwa operasi kapal mereka di sebelah selatan garis kontinental Indonesia dan Vietnam merupakan pelanggaran terhadap hak kedaulatan Indonesia," sambung Fahira Idris.

Fahira Idris menekankan, tidak bisa nelayan dibiarkan sendiri menjaga kepentingannya. Ini tugas dan kewajiban pemerintah. Dirinya juga meminta Pemerintah Indonesia berkomitmen tinggi memprioritaskan kepentingan nasional termasuk dalam pengelolaan ZEE Indonesia dalam hal ini yang berbatasan dengan Vietnam.

Termasuk di dalamnya terus melakukan peningkatan kapasitas dan kemampuan nelayan Indonesia baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan pendekatan pendidikan, pelatihan, dan inovasi teknologi penangkapan ikan yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.