JAKARTA - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan enam bulan ke depan merupakan periode krusial bagi Indonesia dalam proyek pendanaan transisi energi melalui skema JETP (Just Energy Transition Partnership).
Dalam waktu enam bulan ke depan, Indonesia memimpin penyusunan kerja sama dan rencana aksi untuk menghasilkan rencana investasi yang komprehensif, serta mencantumkan target bersama yang nyata dalam skema JETP.
Dalam konferensi pers bertajuk “Mencermati Agenda KTT G20 dan Pendanaan Transisi Energi” di Jakarta, Kamis 17 November, Bhima meminta dalam penyusunan sekretariat nantinya, ada partisipasi dari pekerja, kelompok masyarakat rentan, terutama pihak yang terdampak dari transisi energi, agar sesuai prinsip yang berkeadilan dalam skema JETP.
"Dalam enam bulan ini sebaiknya pemerintah dalam hal ini membuka ruang setransparan mungkin, separtisipatif mungkin, terhadap mereka yang terdampak dari transisi energi," ujar Bhima, dikutip dari Antara, Jumat 18 November.
Lebih lanjut dia juga meminta susunan board, direksi atau komisaris PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) untuk mengakomodir perwakilan masyarakat yang terdampak oleh transisi energi dalam penyusunan rencana aksi pendanaan ini.
BACA JUGA:
Pemerintah telah menunjuk PT SMI (Persero) untuk mengelola pendanaan transisi energi skema JETP yang senilai 20 miliar dolar AS atau sekitar Rp310 triliun (kurs Rp15.500 per dolar AS), yang sebagian besar dari negara-negara maju atau G7.
"Karena khawatir selama proses penyusunan program yang didanai dengan uang sebanyak itu dilakukannya secara kurang transparan atau partisipatif," ujar Bhima.
Selain pendanaan skema JTEP, pada KTT G20 di Bali pada 15-16 November Indonesia memperoleh komitmen pendanaan transisi energi melalui skema ETM dari Asian Development Bank (ADB) sebesar 250-300 juta dolar AS (setara Rp3,87 triliun).