Bagikan:

JAKARTA - Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengakui jika peredaran rokok ilegal berjalan lurus dengan kenaikan tarif cukai tembakau.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, kenaikan tarif cukai rokok akan berkorelasi positif terhadap peredaran rokok ilegal di Tanah Air. Menurutnya, dampak pandemi menyebabkan daya beli masyarakat melemah sementara disparitas harga antara rokok legal dan ilegal semakin jauh.

Tak hanya itu, beban pungutan negara atas rokok legal yang tinggi menyebabkan pelaku peredaran rokok ilegal kian marak.

"Saat ini, disparitas antara rokok ilegal legal itu mencapai 68 persen. Kalau tadinya sebelum PPN naik itu sekitar 62 persen tetapi begitu PPN naik dari 9,1 persen menjadi 9,9 persen itu menjadi 68 persen," katanya, dikutip Selasa 8 November.

Ia mengungkapkan bahwa rokok ilegal adalah rokok yang beredar di Indonesia baik yang berasal dari produk dalam negeri maupun impor yang tidak mengikuti aturan yang berlaku di wilayah hukum Indonesia.

Adapun, ciri-ciri rokok ilegal antara lain, tidak dilekati dengan pita cukai (rokok polos), dilekati dengan pita cukai yang tidak sesuai peruntukannya, dilekati dengan pita cukai palsu, dilekati dengan pita cukai bekas.

Lebih lanjut, Nirwala menjelaskan bahwa penegakan hukum terhadap pelaku penjualan rokok ilegal adalah dengan memberikan sanksi administratif dan pidana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang cukai.

Adapun sanksi untuk pelaku pelanggaran pidana terkait peredaran rokok ilegal adalah pidana penjara maksimal lima tahun dan/atau denda paling banyak sepuluh kali lipat dari nilai cukai yang seharusnya dibayar. Oleh karena itu, untuk memberantas peredaran rokok ilegal, Bea Cukai terus meningkatkan pengawasan peredaran rokok ilegal melalui operasi "Gempur Rokok Ilegal".

Berdasarkan catatan Bea Cukai, Operasi Gempur Rokok Ilegal pada periode 2018 - 2022 terus mengalami peningkatan jumlah penindakan, sedangkan jumlah barang hasil penindakan (BPH) cenderung menurun setiap tahunnya.

"Tahun 2020, jumlah penindakan berjumlah 9.018 dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp662 miliar. Di tahun 2021 jumlah penindakan naik menjadi 13.125 dengan kerugian negara mencapai Rp293 miliar. Sedangkan di tahun 2022 hingga saat ini total penindakan meningkat menjadi 18.659 dengan total kerugian negara mencapai Rp407 miliar," terang Nirwala.

Menurutnya, keberhasilan pemberantasan rokok ilegal memerlukan kerja sama banyak pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.

"Diharapkan dengan operasi Gempur Rokok Ilegal dapat meningkatkan kepatuhan pengusaha sehingga dapat menciptakan keadilan dan keseimbangan," tandasnya.

Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad. Menurutnya, semakin tinggi kenaikan tarif cukai rokok akan semakin tinggi peredaran rokok ilegal.

"Jadi, peredaran rokok ilegal itu sangat tergantung dengan besaran kenaikan tarif cukai rokok. Kalau kenaikan cukai masih normal-normal saja, otomatis peredaran rokok ilegal ya hanya segitu-segitu saja," katanya.

Menurutnya, sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan negara dari sisi cukai rokok, diperlukan regulasi yang berpihak pada sektor industri hasil tembakau (IHT) antara lain, pertama, regulasi yang berpihak kepada industri termasuk didalamnya terkait penetapan tarif cukai rokok.

Kedua, kebijakan penindakan rokok ilegal. Menurutnya, semakin masif peningkatan rokok ilegal maka akan semakin menyehatkan bagi industri hasil tembakau.

"Artinya, market semakin besar, produsen tidak takut lagi untuk produksi. Akan tetapi jika penindakan rendah maka otomatis peredaran rokok ilegal tinggi, dengan begitu pasar untuk rokok legal akan semakin berkurang," paparnya.

Ketiga, berkaitan dengan aturan mengenai promosi. Menurutnya, PP 109 Tahun 2012 sudah sangat mendukung keberlangsungan sektor IHT, walaupun dalam prakteknya masih banyak kurang.

"Saat ini kan untuk promosi sudah memakai digital yang semakin sulit dikontrol dan tidak kenal waktu. Kalau yang lain kan ada batasan waktu, kapan dia promosi dan sebagainya," kata Tauhid.

Keempat, pengaturan ekspor impor terkait bahan baku. Dan yang terakhir mengenai mencegah agar kebijakan yang mendukung prevalensi anak. "Ini juga penting untuk mendukung industri. Kita juga tidak ingin industri ini terus menerus dituduh meracuni masa depan anak," terangnya.

Dikatakan Tauhid, ada beberapa cara untuk mencegah peredaran rokok ilegal yang semakin massif antara lain, pertama, kenaikan tarif cukai rokok tidak terlaku tinggi.

Kedua, melakukan koordinasi dengan pelaku-pelaku industri untuk memonitor peredaran rokok ilegal. Menurutnya, koordinasi ini menjadi sangat penting untuk membantu menginformasikan kepada pemerintah terkait daerah market peredaran rokok ilegal.

Ketiga, memperluas sumber daya manusia (SDM) di daerah, serta meningkatkan anggaran terkait penindakan peredaran rokok ilegal.

"Saya yakin secara kenyataannya mungkin rokok ilegal lebih besar jika dibandingkan data resmi dari Bea Cukai, karena dari Bea Cukai itu kan data penindakan bukan peredaran rokok ilegalnya. Jadi perlu dibangun instrumen baru," tutur Tauhid.

Tanggung Jawab Ditjen Bea Cukai

Di sisi lain, Sekjen GAPPRI Willem Petrus Riwu mengatakan, pemberantasan rokok ilegal sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan kewenangan Ditjen Bea Cukai. Menurutnya, struktur peredaran rokok ilegal saat ini sudah sangat kuat.

"Terkadang pabrik hanya melihat saja, dan memberi informasi jika diminta," katanya.

Terkait data peredaran rokok ilegal, Willem menyebut data seperti ini tidak bisa diberikan, kecuali untuk Badan Pusat Statistik (BPS).

"Pengalaman saya malah akhirnya jadi merugikan dan menyulitkan pihak pabrik. Kami melihat itu tupoksi pembina industri, pembina tenaga kerja dan pembina perani. Seharusnya mereka punya data itu," papar Willem.

Lebih lanjut, Willem mengatakan bahwa pemberantasan rokok ilegal harus extraordinary, karena ini merupakan kejahatan extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Untuk pemberantasannya cukup sulit dan beberapa penegak hukum dari Bea Cukai justru menjadi korban.

"Usul kami cara memberantas rokok ilegal yang aman jangan menaikkan tarif cukai terlalu tinggi agar perbedaan harga tidak terlalu besar antara rokok legal dan ilegal," ucapnya.

"Bayangkan pabrik rokok legal harus membayar pungutan pajak, cukai dan pajak daerah sekitar 73-82 persen dari nilai yang dijual. Jadi rokok ilegal menjual dengan harga 80 persen di bawah harga rokok legal sudah bisa profit dan berkembang, dan negara pasti kehilangan penerimaan serta mengancam UU APBN dan berdampak negatif bagi bangsa karena makin banyak yang beroperasi ilegal," tutup Willem.