Bagikan:

JAKARTA - Kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, merembet ke persoalan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp6 triliun. Kebijakan itu, disebut-sebut ikut dihitung menjadi kerugian negara yang disebabkan oleh para eksportir CPO dan minyak goreng, lebih memilih melakukan ekspor, ketimbang menyalurkannya di dalam negeri.

Logika yang dibangun jaksa penuntut umum (JPU), tindakan para eksportir tersebut membuat minyak goreng yang beredar di pasar domestik menjadi langka dan harganya melonjak. Efeknya, untuk meredam kenaikan harga migor kala itu, pemerintah harus mengucurkan BLT dari koceknya sebagai subsidi langsung.

Dalam kesaksiannya di persidangan, Direktur Perlindungan Korban Bencana Sosial Kemensos Mira Riyanti Kurniasih mengakui, harga migor di pasar domestik yang tinggi kala itu, tak terlepas dari tingginya harga minyak sawit dunia di pasar internasional.

Untuk meringankan beban masyarakat, sesuai arahan Presiden tanggal 1 April 2022, pemerintah pun memutuskan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) yang akan diberikan kepada 20,5 juta KPM, penerima bantuan pangan non tunai, dan penerima program keluarga harapan.

“Seperti itu. Sudah dimulai dari April (2022) kami realisasikan BLT untuk migor,” serunya, Rabu 19 Oktober.

Ia menjelaskan, anggaran untuk BLT sendiri, diambil dari pos anggaran bansos secara umum yang memang sudah dialokasikan dalam APBN sejak November 2021, jauh sebelum ada kenaikan harga dan kelangkaan migor.

“Sebenarnya itu diambil dari anggaran kami. Kami kan punya angggaran bansos, sejak November 2021. Dianggarkan untuk program reguler. Kami ini, sebelum ada BLT migor, sesuai tugas dan fungsi kemensos memang punya program BPNT dan program keluarga Harapan. Seperti itu,” jelas Mira.

Ia memastikan, tidak anggaran khusus yang secara dadakan diadakan untuk BLT migor.

“Jadi saat itu kami gunakan anggaran yang ada dulu untuk menindaklanjuti arahan presiden,” serunya.

Terkait dengan nilai BLT yang diberikan sebesar Rp300 ribu dalam 3 bulan, atau Rp100 ribu perbulan per penerima manfaat, Mira menjelaskan, BLT tersebut tidak khusus ditujukan hanya untuk membeli migor, tapi juga kebutuhan pokok yang lain karena terimbas inflasi pangan dari migor.

“Sebelumnya mereka sudah mendapatkan program BPNT (bantuan pangan non tunai), tetapi dirasakan kurang, maka itu ditambahkan. Terkait program tadi, istilahnya BLT Migor,” tuturnya.

Seperti diketahui, Kementerian Keuangan sendiri memutuskan untuk menambah jumlah penerima BLT minyak goreng menjadi 20,65 juta dari sebelumnya 20,5 juta penerima. Adapun penerima 20,65 juta ini berasal dari data termutakhir penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dan bansos pangan yang tercatat di Kementerian Sosial (Kemensos).

Selain dari yang terdaftar di Kemensos, BLT minyak goreng juga diberikan kepada Pedagang Kaki Lima Warung (PKLW) yang berjumlah 2,5 juta penerima. Sehingga total penerima BLT minyak goreng menjadi 23,25 juta orang.

Adapun anggaran yang disiapkan sebesar Rp6,2 triliun untuk yang ada di bawah Kementerian Sosial dan Rp750 miliar untuk penerima PKLW. Dengan demikian total anggarannya menjadi 6,95 triliun. Untuk penyaluran BLT minyak goreng kepada PKLW, pemerintah menugaskan TNI/Polri untuk melakukannya kepada seluruh daerah di Indonesia.

Menegaskan Dakwaan

Menanggapi hal ini, Juniver Girsang, Penasehat Hukum Master Parulian Tumanggor, Komisaris Wilmar Nabati yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, menyebutkan, kesaksian dari Mira ini jelas menegaskan tak ada kerugian negara dalam perkara yang membelit kliennya. Dia menegaskan, sebaliknya kesaksian ini menegasikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

"Kesaksian ini jelas menegaskan, negara hadir bagi warganya yang membutuhkan bantuan, bagi fakir miskin juga tentunya. Yang juga kita cermati, bahwa kesaksian ini menegaskan tidak ada kerugian negara dalam perkara klien kami. Dan, tidak ada juga uang negara masuk ke pundi-pundi klien kami. Jelas ini menegasikan dakwaan JPU terhadap klien kami," ujar Juniver Girsang, usai persidangan.

Juniver menambahkan, dalam kasus justru kliennya merugi akibat kebijakan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sekaligus pemenuhan DMO. Nilai kerugian Wilmar Nabati dikalimnya sekitar Rp1,5 triliun. Kerugian ini didapat lantaran perusahaan dipaksa untuk menjual harga migor di bawah harga keekonomian, bahkan di bawah harga produksi.

"Dengan diterbitkannya kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) ini, kami mengalami kerugian kurang lebih dari Rp1,5 triliun. Jadi, malahan terbalik, dalam hitungan kami sudah sampaikan dalam eksepsi, hitungannya detail secara ekonomi dan kemudian aktual. Bukan direka-reka," imbuhnya.

Untuk diketahui, di samping kerugian keuangan Negara, dalam kasus ini jaksa juga mendalilkan kerugian perekonomian negara sebesar Rp12,31 triliun yang juga diatribusi kepada tiga grup perusahaan dengan jumlah yang berbeda. Nilai kerugian ini merupakan hasil kajian dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada tanggal 15 Juli 2022 yang dihitung selama periode 15 Februari sampai30 Maret 2022.

"Pertanyaannya adalah sejauh mana validitas hasil kajian ini. Menarik untuk diuji di pengadilan, sebelum dijadikan referensi untuk menentukan kerugian perekonomian negara," kata Praktisi Hukum Hotman Sitorus beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan, dalam setiap pidana korupsi, setidaknya tetap harus ada unsur, Pebuatan Melawan Hukum (PMH), Kerugian Keuangan Negara atau Kerugian Perekonomian Negara, dan Memperkaya diri sendiri atau orang lain.

"Tanpa ada pebuatan melawan hukum, Tanpa ada kerugian keuangan negara dan tanpa ada memperkaya diri sendiri atau orang lain, tidak ada yang korupsi. Ketiga unsur haruslah diuraikan secara jelas dan terang dan kemudian dibuktikan di depan pengadilan," jelas Hotman.

Tetapi dalam beberapa kali persidangan, lanjut Hotman, bisa dikatakan ketiga unsur kabur. Tidak terdapat hubungan sebab akibat antara satu unsur dengan unsur lain. Tidak terdapat hubungan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh terdakwa dengan kerugian keuangan negara.

"Sehingga, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian keuangan negara dengan memperkaya perusahaan," kata Hotman.