Sebut Kenaikan BI Rate Tak Ganggu Pertumbuhan Ekonomi, Bahana TCW: Justru jadi Daya Tarik Bagi Pasar Keuangan
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam industri keuangan PT Bahana TCW Investment Management, menyatakan dukungannya terhadap langkah Bank Indonesia (BI) yang melakukan penyesuaian tingkat suku bunga acuan beberapa pada bulan lalu menjadi 3,27 persen.

Chief Economist Bahana TCW Budi Hikmat mengatakan pihaknya meyakini upaya yang ditempuh otoritas moneter bertujuan menjaga daya tahan dan keseimbangan makro perekonomian nasional. Bahkan, dia menampik bahwa kenaikan BI rate bisa menyebabkan perlambatan tertentu di dalam negeri.

“Peningkatan suku bunga Bank Indonesia bukan untuk mengerem pertumbuhan ekonomi melainkan untuk mengendalikan inflasi inti tahun depan tetap pada target interval,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Selasa, 20 September.

Budi menambahkan, adanya progres dalam rate interest malahan bisa membawa keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Pasalnya

“Ini bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pasar keuangan kita,” tuturnya.

Dijelaskan bahwa perekonomian RI baru lepas dari pandemi dan masih membutuhkan stimulus agar bisa tumbuh lebih kencang guna meningkatkan pendapatan masyarakat. Kata dia, Cost-push inflation umumnya menuntut peningkatan efisiensi penggunaan sumber energi dan dengan memacu produksi dalam negeri khususnya untuk komoditas yang diimpor.

“Apalagi di negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang pernah menggelar stimulus secara masif dan berlaku sebagai produsen vaksin, peningkatan suku bunga secara signifikan pada hakikatnya merupakan normalisasi suku bunga,” ungkap dia.

Lebih lanjut, Budi menyampaikan jika peningkatan inflasi di Indonesia cukup unik. Pasalnya, RI relatif diuntungkan oleh fenomena inflasi global mengingat kenaikan harga income commodity seperti batu bara, nikel dan CPO melebihi cost commodity khususnya minyak mentah.

Pada awalnya pemerintah mengendalikan transmisi inflasi global khususnya akibat kenaikan harga minyak mentah dengan terus meningkatkan alokasi subsidi energi hingga melebihi Rp 500 triliun.

“Pemerintah punya alasan untuk mengalokasikan subsidi untuk pos yang lebih produktif dan berkeadilan seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan dan perumahan,” ucapnya.

Secara umum perusahaan pelat merah ini mengapresiasi tahapan Bank Indonesia dalam mengendalikan risiko inflasi sekaligus mengendalikan rupiah melalui berbagai macro-prudential policy seperti dengan menyerap kelebihan likuiditas yang digelontorkan sewaktu pandemi menyerang.

BI juga melakukan intervensi di pasar obligasi negara agar kurva imbal hasil untuk memberi acuan bagi perbankan dalam penetapan suku bunga kredit,” tutup Budi.