JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyatakan inovasi keuangan berkelanjutan (sustainable finance) diperlukan guna mempercepat kemampuan korporasi mencapai target transisi menuju target nol emisi karbon (net zero emission) di tahun 2030.
"Di luar itu, keuangan berkelanjutan juga dapat menurunkan biaya modal (cost of capital) dan membangun resiliensi perusahaan," ujar dia dalam kegiatan Breakfast Roundtable bertema “Unlocking Sustainable Finance to Drive The Transition to Net Zero and Business Growth” di Gedung Permata Kuningan, Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis 1 September.
Seperti diketahui, pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan menggunakan sumber daya dalam negeri dan 41 persen dengan bantuan internasional termasuk perihal keuangan, transfer teknologi, serta peningkatan kapasitas bisnis di tahun 2030.
Hal tersebut dinyatakan bakal mempengaruhi korporasi yang perlu menyesuaikan strategi dan tata kelola perusahaan dalam melakukan bisnis maupun pengaturan modal untuk pengembangan usaha ke depan.
"Untuk menurunkan emisi karbon dan mencapai tujuan bersih nol emisi pada tahun 2050, pemangku kepentingan termasuk sektor swasta perlu bekerja sama untuk menerapkan praktik keberlanjutan bisnis," kata Hariyadi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Boston Consulting Group dan Global Financial Market Association, lanjutnya, pencapaian target pengurangan karbon di skala global pada tahun 2050 membutuhkan pendanaan sebesar 150 triliun dolar AS selama tiga dekade mendatang. Sementara pembiayaan di wilayah Asia diperkirakan 66 triliun dolar AS.
BACA JUGA:
Kini, sebut dia, kesadaran di kalangan swasta untuk mencapai nol emisi karbon sangat terlihat. Karena itu, diperlukan ekosistem pendukung yang lebih besar terutama dari bank dan pembuat kebijakan guna bertransisi menuju pembangunan berkelanjutan.
Menurut Hariyadi, berbagai produk baru penyedia jasa keuangan sering diluncurkan oleh pelbagai pihak publik dan swasta. Namun, belum semua perusahaan memahami cara mengakses fasilitas tersebut.
"Proyek yang berkelanjutan akan terkendala oleh kebijakan yang tidak memadai dan kerangka kerja yang tidak diatur. Kesenjangan permintaan dan penawaran serta kurangnya perangkat untuk mengatasi hambatan tersebut membutuhkan kolaborasi bisnis, bank, dan pembuat kebijakan," ucap Ketua Apindo.