Kendalikan Inflasi, Ekonom Indef: Pemerintah Harus Jaga Stabilitas Harga dan Rantai Pasok
Ilustrasi (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Kenaikan harga makanan dan energi menggerek inflasi bergerak naik, bahkan sampai kisaran yang anomali bagi inflasi pangan.

Karena itu, pemerintah diminta untuk mengendalikan harga dan rantai pasok agar menurunkan inflasi sampai ke ambang batas wajar.

Ekonom INDEF Eka Puspitawati menilai, pemerintah perlu memastikan kesediaan barang dan memperhatikan efek psikologis masyarakat.

Menurut dia, hal ini menjadi kunci mengendalikan inflasi agar tidak menjadi anomali masyarakat.

"Kunci biar terkendali, selain usaha yang dilakukan pemerintah. Usaha riil yang dilakukan misalnya Operasi Pasar, bagaimana cara agar suplai pangan dan energi tetap ada untuk menghindari inflasi yang lebih tinggi, maka pemerintah harus bisa menenangkan psikologi masyarakat,” kata Eka di Jakarta, Kamis, 11 Agustus.

Kata Eka, ada istilah expected inflation atau inflasi yang didorong dari ekspektasi berlebihan atau merasa ketakutan.

Jika terjadi ketakutan di masyarakat, maka harga akan lebih cepat naik.

Namun, menurut dia, ketakutan ini lebih banyak dirasakan oleh pihak swasta.

"Masyarakat secara umum konsumsi lebih banyak dipenuhi dalam negeri. Yang barang impor yang terdistruksi besar besaran atas goncangan internasional. Kalau dari masyarakat belum banyak kena imbas, asal tidak di-blow up. Kalau dari pengusaha khawatir itu pengaruhnya ke masyarakat,” jelas Eka.

Dalam beberapa bulan ke depan dengan adanya pembatasan impor, lanjut Eka, sejumlah pengusaha pasti kesulitan mendapat bahan baku. Tentunya hal iniakan membawa dampak pada bisnis mereka.

Meski begitu, Eka percaya inflasi secara keseluruhan masih akan tetap terkendali karena pergerakan masyarakat.

“Dorongan inflasi yang masih disokong oleh tarikan demand, bahwa masyarakat masih beraktivitas, masih berproduksi, melakukan investasi, masih bisa terjaga. Karena inflasi di satu sisi, mengkhawatirkan jika tidak terkendali, tetapi inflasi dibutuhkan untuk mendorong sisi produksi,” ujarnya.

Jaga Produksi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan operasi pasar bisa membantu menekan inflasi dengan mengefisienkan jalur distribusi agar tidak panjang.

Ketika jalur distribusi terlalu panjang, kata Faisal, maka akan berpengaruh terhadap harga akhir yang diterima konsumen.

“Jadi memang akan membantu untuk menekan inflasi. Tapi seberapa jauh? Saya rasa ini juga operasi pasar itu hanya satu aspek dari sisi distribusi,” ungkapnya.

Meski demikian, penyebab inflasi tidak hanya dari sisi distribusi, tetapi juga dari produksi.

Faisal mengatakan, faktor pendorong inflasi sangat banyak. Contohnya, seperti komoditas pangan yang berbasis pada harga internasional, seperti gandum. Ketika harga komoditas internasional naik, otomatis dari hulunya sudah naik.

Begitu pula dengan komoditas pangan produksi domestik yang tidak dipatok dengan harga internasional.

Komoditas itu diproduksi domestik dan sesuai dengan harga domestik misal beras, cabai, dan bawang merah.

“Kalau masalah domestik, ini berarti juga masalah di hulunya juga, produsen domestik. Artinya itu suplai dari hulu sudah kurang,” jelasnya.

Ketika penyebab inflasi ada pada sisi produksi, kata Faisal, maka operasi pasar tidak akan berarti banyak.

Padahal, menurut Faisal, saat ini inflasi disebabkan lebih pada faktor produksi atau sisi hulu.

“Operasi pasar hanya dimaksudkan untuk mengatasi inefisiensi dari sisi distribusi saja. Apakah bisa menekan harga inflasi pangan? Ya bisa, tapi hanya dalam kondisi tertentu. Tapi saya yakin yang lebih banyak berpengaruh sebenarnya saat ini adalah sisi hulu," ujarnya.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan, inflasi pangan terasa betul pada masyarakat kecil. Jadi tugas pemerintah adalah mengendalikan harga, menurunkan inflasi sampai ke ambang batas wajar.

“Jadi menurunkan 10,47 persen menjadi enam atau bahkan lima persen betul-betul dampak sosialnya sangat besar untuk menyejahterakan rakyat,” kata Perry.

Pada bulan Juli 2022, Inflasi pangan bulanan mencapai angka 10.45 persen dari batas wajar yaitu antara 5-6 persen.

Untuk itulah, Bank Indonesia bersama dengan Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP & TPID) terus berkomitmen dalam menjaga terkendalinya inflasi nasional.