JAKARTA - Bank Indonesia (BI) beberapa waktu lalu menetapkan kebijakan strategis dengan melanjutkan penggunaan suku bunga acuan sebesar 3,50 persen.
Kepala Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Wira Kusuma mengatakan bahwa langkah itu sejalan dengan upaya bank sentral dalam menjaga momentum pemulihan ekonomi.
“Kami melihat saat ini proses pemulihan (ekonomi) itu sedang berlangsung. Kalau semisal proses ini terhambat maka bisa merugikan perekonomian kita,” tuturnya dalam dialog virtual bertajuk Pemulihan Ekonomi di Tengah Ketidakpastian Global, Senin, 25 Juli.
Wira menjelaskan, otoritas moneter memiliki pandangan bahwa kenaikan BI rate harus berpegang teguh pada indikator kenaikan inflasi inti.
“Sampai saat ini yang menjadi sumber inflasi adalah dari sisi suplai. Tentunya, hal itu tidak bisa dijawab dengan kenaikan suku bunga,” tutur dia.
Menurut Wira, sikap BI untuk mempertahankan suku bunga juga sangat bergantung pada sejumlah aspek pertimbangan makro.
BACA JUGA:
“Sampai kapan kita akan mempertahankan ini? Tentu dengan melihat inflasi inti tadi, apakah akan meningkat terus, baik karena ekspektasi inflasi intinya maupun dari nilai tukar rupiahnya yang terdepresiasi. Atau bisa juga dari perkembangan lain seperti domestic demand-nya yang terlalu kuat,” tegas Wira.
Sebagai informasi, kenaikan suku bunga acuan BI berarti mendorong perbankan untuk menaikan rate interest kredit mereka. Hal ini tentu saja membawa beban tersendiri kepada pelaku usaha untuk melakukan ekspansi bisnis karena biaya dana (cost of fund) bakal semakin tinggi.
Apabila kondisi ini tidak dimitigasi secara benar, maka roda perekonomian bisa semakin tertekan yang berakibat dari melambatnya laju pemulihan di dalam negeri.
Adapun, BI sendiri telah mempertahankan suku bunga acuan 3,50 persen sejak 2020 dan tercatat sebagai level terendah sepanjang sejarah guna merespon dampak pandemi COVID-19.