Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggandeng PT PLN (Persero) untuk memberdayakan dunia usaha yang antikorupsi melalui penanaman nilai-nilai integritas.

Kerja sama ini ditandai dengan penyelenggaraan bimbingan teknis (bimtek) dunia usaha antikorupsi yang diselenggarakan dari kantor pusat PLN, Jakarta, Selasa 31 Mei.

Berdasarkan data KPK, sejak 2004 hingga Desember 2021 tercatat 345 pelaku korupsi dari kalangan swasta atau dunia usaha.

Angka itu menyumbang sekitar 25 persen dari total pelaku korupsi seluruhnya, yaitu 1.360 orang.

Adapun modus yang paling banyak dilakukan adalah terkait suap menyuap dan pemberian gratifikasi, yaitu mencapai 802 kasus.

Berikutnya pengadaan barang dan jasa sebanyak 263 kasus dan terkait perizinan 25 kasus.

Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta KPK, Wawan Wardiana menyampaikan dalam kesempatan ini, PLN dan KPK akan menggunakan rompi dengan logo "Berani Jujur itu Hebat" sebagai bentuk komitmen PLN dan KPK dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.

"PT PLN adalah BUMN pertama yang mengenakan rompi kolaborasi BUMN dan KPK. Kami harap jadi komitmen PLN untuk turut mencegah korupsi," ujar Wawan di Jakarta, Selasa 31 Maret.

Selain itu, rompi ini juga akan dikenakan oleh seluruh personel PLN saat bertugas baik petugas lapangan PLN, maupun di kantor sebagai pengingat untuk tidak melakukan tindakan korupsi dan gratifikasi.

"Termasuk juga sebagai pengingat bagi masyarakat agar tidak memberikan tip dan sesuatu kepada petugas di lapangan," kata dia.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron dalam sambutan menyampaikan, terdapat dua cara pencegahan korupsi yang dilakukan KPK, yakni melalui perbaikan sistem dan peningkatan integritas.

Ghufron menjelaskan, dengan sistem yang jelas, ringkas, dan transparan tidak akan menghadirkan celah bagi perilaku korupsi dan kolusi dalam menjalankan bisnis perusahaan.

"Kalau sudah tidak jelas maka orang akan malas berurusan maka kemudian akan pakai calo dalam memperlancar urusan," ujarnya.

Ia melanjutkan, ketidakjelasan sistem bisa meliputi biaya, waktu dan syarat prosedur sehingga menimbulkan praktik calo dengan iming-iming dapat memperlancar segala urusan meskindengan biaya yang lebih mahal.

"Kami harap kolaborasi ini tidak berhenti pada pemasangan rompi anti korupsi. Karena kalau sudah konpers pakai rompi orange pasti menakutkan, lebih baik pakai rompi penangkal dengan rompi anti korupsi," pungkas Ghufron.