Waduh, Sri Mulyani Mencium Rencana Perdagangan Karbon jadi Ajang Potensial Pencucian Uang
Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Tangkap layar Youtube PPATK)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan bahwa upaya menanggulangi isu perubahan iklim (climate change) yang tengah digencarkan oleh banyak negara, termasuk Indonesia, sangat mungkin disusupi oleh kepentingan yang mengandung unsur kejahatan.

Menurut dia, rencana perdagangan karbon untuk mencapai target net zero emission berpotensi menjadi ajang pencucian uang. Pasalnya sejumlah besar uang dari pemodal kuat diyakini bakal berputar di sektor ini.

“Pajak karbon bisa dijadikan wahana untuk pencucian uang dan illegal financing trafficking,” ujarnya melalui saluran virtual dalam forum diskusi yang diselenggarakan oleh PPATK, Kamis, 31 Maret.

Menkeu menjelaskan, isu climate change menjadi salah satu fokus utama dunia saat ini dimana upaya pembangunan yang menghasilkan emisi karbon harus dibarengi dengan langkah-langkah pelestarian alam.

“Sangat penting untuk bisa mewujudkan green economy yang berintegritas melalui upaya disrupsi pencucian uang pada pajak karbon, karena jelas bahaya perubahan iklim mengancam seluruh negara baik dari sisi ekonomi dan sosial,” tuturnya.

Sebagai informasi, pajak karbon merupakan langkah ekspansi fiskal dalam mengenakan pungutan tertentu kepada dunia usaha yang dianggap paling berkontribusi dalam memproduksi karbon. RI sendiri pada tahap awal tengah merencanakan pengenaan pajak karbon kepada pelaku usaha PLTU.

Nantinya, pengusaha tersebut harus membayar sejumlah tarif kepada pemerintah yang dihitung berdasarkan emisi yang dilepas ke alam.

Dalam skala yang lebih luas, pajak karbon kemudian bertransformasi menjadi perdagangan karbon. Melalui skema ini, penetapan pungutan tidak terjadi di dalam negeri saja tetapi lintas negara.

Secara garis besar, negara atau korporasi raksasa internasional harus memenuhi syarat net zero emission atas aktivitas produksi yang dilakukan. Maksudnya adalah dari setiap proses produksi perusahaan pasti akan menghasilkan emisi karbon.

Emisi karbon tersebut harus dikompensasi dengan upaya pelestarian lingkungan agar jumlah emisi yang dilepas sama dengan langkah penyerapan karbon melalui pelestarian alam (net zero).

Jika perusahaan atau negara tersebut tidak mempunyai hutan atau sumber daya yang memadai untuk bisa menyerap karbon, maka harus membeli semacam sertifikat atau lisensi dari negara yang punya jumlah hutan yang luas.

Indonesia adalah salah satu negara yang cukup berpeluang mengambil keuntungan dalam skema perdagangan karbon internasional karena memiliki sumber daya alam yang melimpah. Untuk itu, diperlukan pengawasan keuangan secara lebih komprehensif dan terintegrasi dari semua pihak agar tidak terjadi tindak pencucian uang di sektor ini.

Dalam catatan VOI, pemerintah melalui Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sempat mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi pendapatan sebesar 565,9 miliar dolar AS atau setara dengan Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon di sektor kehutanan, mangrove dan gambut.

“Oleh karenanya upaya untuk menangani climate change dilakukan semua pihak dan semua negara. Pemerintah akan terus mendorong adanya edukasi dan pemahaman untuk mengembangkan berbagai kebijakan-kebijakan dalam mentransformasikan ekonomi Indonesia menuju ekonomi hijau,” tutup Menkeu Sri Mulyani.