Tanggapi Persoalan Minyak Goreng, Serikat Petani: Kurangi Ekspor Sawit, Perkuat Koperasi Bukan Korporasi, Hingga Reforma Agraria
Ilustrasi. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Persoalan minyak goreng yang belum kunjung usai, terus mendapat sorotan dari berbagai pihak. Tak terkecuali Serikat Petani Indonesia (SPI).

Menurut Ketua SPI Henry Saragih, para petani sawit tidak menikmati keuntungan dari melimpahnya pasokan minyak goreng dengan harga yang menjulang seperti saat ini. "Memang harga tandah buah segar (TBS) naik, tapi biaya operasi para petani juga naik karena kenaikan harga pupuk," ujar Henry dalam keterangannya, dikutip Kamis 24 Maret.

Dia memaparkan, laporan dari petani SPI di Riau TBS minimal di Rp3.550 per kg dan maksimal di Rp3.750 per kg, bahkan di Kabupaten Tebo, Jambi harga TBS tertinggi mencapai Rp3.800 per kg.

Sementara harga pupuk ikut naik, seperti urea Rp400.000 per 50 kg karung; NPK Rp750.000; dan KCL Rp630.000.

Atas dasar itu, Henry menilai untuk mengatasi persoalan minyak goreng, pemerintah harus segera merumuskan kebijakan agar tidak semuanya sawit diekspor. Pemerintah harus mengalokasikan produksi sawit untuk kebutuhan di dalam negeri.

"Pemerintah juga bisa mendorong dan membantu koperasi-koperasi petani untuk mampu membangun pabrik minyak goreng skala lokal. Tentunya pemerintah juga membantu proses distribusi dan pemasarannya juga," kata Henry menambahkan.

Henry juga bilang, koperasi perkebunan sawit rakyat, bukan korporasi, harus diperkuat agar menguasai hulu hingga hilir.

"Korporasi harus dibatasi. Produksi minyak goreng sangat berbahaya jika bersifat monopoli atau oligopoli," tegasnya.

Salah satu yang jadi perhatian SPI adalah fungsi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) yang dibentuk melalui PP No. 24 Tahun 2015. BPDP-KS yang bertujuan membangkitkan perkebunan sawit rakyat juga harus dikembalikan sesuai fitrahnya karena selama ini diduga kuat hanya menguntungkan kelompok tertentu dalam indsutri kelapa sawit.

Henry menambahkan, minyak goreng harus kembali menjadi produksi rakyat. Sawitnya dijual ke pabrik minyak goreng lokal dengan harga yang layak, minyak gorengnya dijual ke masyarakat lokal, hingga nasional dengan harga yang tidak memberatkan konsumen.

"Idealnya sih seperti ini, kalo serius, insya Allah ini bisa kita lakukan, dan SPI siap bekerjasama dengan pemerintah untuk mewujudkannya melalui koperasi-koperasi petani SPI yang sudah tersebar di nusantara," tambahnya.

Reforma agraria

Henry menyampaikan, SPI menilai kebijakan pangan dan pertanian nasional harus berdasarkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan berarti pemenuhan pangan melalui produksi lokal, mendorong produk pertanian nasional, serta mendorong pendirian dan penguataan kelembagaan ekonomi petani, yakni koperasi bukan korporasi.

Melalui kedaulatan pangan, kebijakan pertanian Indonesia akan menempatkan kepentingan dan nasib petani, selaku produsen pangan, di atas kepentingan korporasi maupun tuntutan pasar.

"Distribusikan tanah-tanah yang dikuasai, dimonopoli oleh korporasi menjadi milik koperasi melalui reforma agraria sejati dan penerapan pola pertanian yang tidak monokultur, kebijakan variasi sawit dan pangan," katanya.

Henry menegaskan, kebun-kebun sawit yang dikuasai oleh korporasi-korporasi itu harus dijadikan objek reforma agraria.

"Perkebunan sawit yang dikuasai korporasi tidak mendorong pembangunan di daerah dan rakyat di daerah, merusak hutan dan lingkungan hidup bahkan infrastruktur yang ada," tegasnya.