Bagikan:

JAKARTA - Setelah dicabutnya harga eceran tertinggi (HET) oleh Pemerintah pada Rabu 16 Maret, minyak goreng kini membanjiri pasar di Kalimantan Selatan (Kalsel) terutama di toko ritel modern namun dengan harga tinggi.

Berdasarkan pantauan pada Minggu, pada beberapa ritel modern seperti Indomaret dan toko swalayan di Kota Banjarbaru, Kalsel, minyak goreng kemasan premium berbagai merek isi 2 liter dibanderol harganya antara Rp49.000 sampai Rp52.000, jauh di atas HET yang sebelumnya berlaku Rp28.000/dua liter.

"Tadinya senang melihat banyak minyak goreng dipajang, ternyata harganya mahal, saya tidak jadi beli," ujar Rohimah (55), warga yang dijumpai setelah keluar dari sebuah ritel modern di Banjarbaru, dikutip dari Antara, Senin 21 Maret.

Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Hidayatullah Muttaqin SE MSI PhD mengatakan kebijakan Pemerintah menetapkan HET minyak goreng sejak awal Februari 2022 lalu memang tidak tepat.

Begitu pula kebijakan pencabutan HET untuk minyak goreng kemasan kecuali curah, juga tidak efektif. Hal ini disebabkan penetapan dan pencabutan HET tersebut tanpa disertai kebijakan yang menyentuh akar masalah lonjakan dan kenaikan harga kebutuhan pokok itu.

"Persoalan mendasar minyak goreng ini adalah tata niaga yang buruk dan struktur pasar yang rusak, yaitu kartel dan penimbunan oleh para mafia," kata dia.

Muttaqin merujuk data SP2KP Kementerian Perdagangan, rata-rata harga minyak goreng di tingkat nasional dari Januari 2021 ke Januari 2022 meningkat sebesar 46 persen untuk minyak goreng curah, 41 persen kemasan sederhana, dan 36 persen kemasan premium.

"Rata-rata harga pada bulan Februari setelah ditetapkan HET memang mengalami penurunan, tetapi kemudian diikuti kelangkaan sehingga justru memperparah keadaan," ujarnya pula.

Setelah pencabutan HET, rata-rata harga per 18 Maret 2022 untuk minyak goreng curah Rp17.251, kemasan sederhana Rp20.116, dan kemasan premium Rp23.439 per liter.

Menurut Muttaqin, penetapan HET pada dasarnya mendistorsi pasar. Karena para pedagang yang sebelumnya telah melakukan pembelian dengan harga tinggi dipaksa melepasnya ke masyarakat dengan harga HET.

"Menteri Perdagangan dalam rapat dengan DPR beberapa waktu lalu juga mengakui adanya mafia dan Pemerintah tidak berdaya menghadapinya. Pernyataan ini menggambarkan kurangnya usaha Pemerintah dalam menangani persoalan minyak goreng," katanya lagi.

Hal itu dibuktikan setelah dicabutnya HET minyak goreng kemasan, dengan sangat cepatnya komoditas ini tersedia di rak-rak pasar modern.

Ia menyatakan bahwa hal itu menunjukkan kelangkaan minyak goreng saat pemberlakuan HET terjadi akibat adanya penimbunan dengan cara menahannya di gudang-gudang, sehingga distribusinya tidak sampai ke tingkat eceran dan masyarakat.

"Pemerintah jangan sampai kalah dengan kartel dan mafia. Sebab Pemerintah pada dasarnya punya power, ada undang-undang dan peraturan di bawahnya, punya sumber daya, intelijen, dan aparat untuk memberantas persoalan ini," katanya pula.

Muttaqin menyebut kondisi ini hanyalah soal keinginan politik dan keseriusan untuk memberantas mafia dan pelaku penimbunan. Bukan soal panic buying, karena antrean masyarakat membeli minyak goreng tersebut adalah karena kebutuhan dan terjadi kelangkaan.