Bagikan:

PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) tengah mempertimbangkan untuk membatalkan rencana penambahan modal melalui Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) alias rights issue yang sedianya bakal dilaksanakan pada tahun ini. Semula, upaya right issue disiapkan perusahaan demi memperkuat permodalan guna mendukung ekspansi bisnis, serta fundamental perseroan di tengah pemulihan ekonomi.

"Keputusan (pembatalan right issue) diambil setelah perusahaan menyetujui pembagian dividen dari laba bersih tahun buku 2021 kemarin," ujar Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, dalam konferensi pers usai pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) perusahaan, di Jakarta, Selasa, 15 Maret.

Dalam RUPST tersebut, perusahaan memang telah menetapkan pembagian dividen sebesar 25 persen dari total laba bersih tahun 2021 yang sebesar Rp10,89 triliun. Artinya, nilai total dividen yang dibagikan kepada pemegang saham mencapai Rp2,72 triliun, atau setara dengan Rp146 per saham.

Nominal dividen yang dibagikan tersebut, dijelaskan Royke, melonjak 3,3 kali lipat dibanding realisasi dividen untuk tahun buku 2020 yang sebesar Rp820 miliar, atau setara dengan Rp44 per saham.

"Maka dengan mempertimbangkan banyak hal dan juga dividen yang sudah dibagi, kelihatannya kami bisa jadi akan membatalkan rencana untuk rights issue. Tapi ini masih dalam proses. Kami melihat kemungkinan, bahwa dengan adanya dividen dan 75 persen retained earnings, kami yakin modal untuk ekspansi masih akan cukup sampai beberapa tahun ke depan," tutur Royke.

Rencana right issue sendiri pertama kali digulirkan pada akhir Januari 2022 lalu, dengan mempertimbangkan kebutuhan perusahaan untuk menopang ekspansi bisnis di tengah fundamental perekonomian yang dinilai masih dalam tahap pemulihan usai tertekan pandemi COVID-19. Selain dibagi dalam bentuk dividen, sisa laba bersih sebesar 75 persen oleh BNI akan dimanfaatkan sebagai saldo laba ditahan untuk menopang kinerja pengembangan usaha.