Bagikan:

JAKARTA - Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengakui bahwa kebijakan minyak goreng satu harga Rp14.000 per liter tidak optimal. Sebab, kebijakan tersebut justru membuat kelangkaan pasokan di pasaran.

Kemendag, lanjut Oke, mengendus kebocoran pasokan terjadi karena produsen mengutamakan pasar ekspor setelah kebijakan minyak goreng satu harga ditetapkan pada 19 Januari. Pemerintah pun langsung mengevaluasi kebijakan satu harga meskipun baru dua pekan berlangsung.

Seperti diketahui, kebijakan suatu harga menggunakan mekanisme subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS sedianya bakal berlangsung sampai enam bulan depan.

"Kenyataannya tidak optimal juga. Makanya kami mainkan lagi, ada indikasi kebocoran di ekspor," ujar Oke dalam diskusi virtual, Kamis, 3 Februari.

Karena itu, kata Oke, pada 26 Januari, Kemendag mengambil langkah dengan mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO). Dengan berlakunya DMO dan DPO eksportir memiliki kewajiban memasak minyak goreng ke dalam negeri sebesar 20 persen dari total volume ekspor masing-masing perusahaan.

"Ya sudah kami terapkan DMO dan DPO. Artinya pasok dulu ke dalam negeri," ucapnya.

Kemudian, seiring dengan penerapan DMO dan DPO, pemerintah juga menetapkan aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng dilakukan untuk menjamin ketersediaan minyak dengan harga terjangkau.

Oke mengatakan kebijakan DMO dan DPO tersebut memang tidak bisa dirasakan secara signifikan dalam waktu singkat.

"Sampai sekarang kok jarang (stok), ini ada apa? apakah unsur perlawanan atau kesiapan. Memang ini bukan keputusan sekarang bisa satu hari langsung berjalan seperti membalikkan telapak tangan," ujarnya.

Anomali kenaikan minyak goreng

Oke melanjutkan, kenaikan harga minyak goreng pada saat ini adalah anomali, akibat pandemi COVID-19 dan akibat kebutuhan minyak nabati dunia pasokannya terganggu. Meski begitu, ia mengakui bahwa ada yang tidak benar mengenai kebijakan yang terlalu melepas ke mekanisme perdagangan terkait minyak goreng.

"Pemerintah melihat pada posisi saat ini, ada yang tidak benar. Kami mengakui ternyata minyak goreng kita ada sistem di kebijakan kita yang terlalu melepas ke mekanisme perdagangan, intervensi pemerintahnya di mana harga minyak goreng di dalam negeri itu dibiarkan ketergantungan ke harga CPO internasional," ujar Oke.

Oke menjelaskan sumber masalah yang harus diperbaiki terkait dengan harga minyak goreng yang meroket bukan memperbaiki sistem dari hulu hingga hilir yang sejak lama baik-baik saja. Tetapi, dengan cara melepaskan diri dari ketergantungan harga CPO internasional.

"Penyebab utama yang harus diperbaiki adalah melepaskan diri minyak goreng domestik dari ketergantungan harga CPO internasional. Itu yang paling penting," ujarnya.

Selain itu, Oke juga menekankan pemerintah tidak bisa menunggu untuk menekan harga minyak goreng yang tinggi, jika harus membenahi sistem dari hulu ke hilir atau pun temuan mengenai dugaan kartel di industri minyak goreng.

"Saya tidak bisa menunggu berbenah dulu dari hulu ke hilir karena ibu-ibu tidak bisa menunggu. Tidak bisa menyalahkan kartel, karena itu berperkara harus masuk ke ranah hukum, harus ada putusan pengadilan dan sebagainya tidak bisa ibu-ibu maunya besok," ucapnya.