JAKARTA - Pengamat Ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyoroti sikap pemerintah yang tidak memasukan klaster insentif usaha dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) periode 2022.
Menurut dia, keputusan pemerintah tersebut harus benar-benar didasarkan pada pertimbangan yang matang. Terlebih, proses pemulihan ekonomi yang kini sedang terjadi belum sampai pada taraf yang cukup mapan.
“Memang argumen untuk mencabut stimulus perlu dilakukan secara hati-hati. Tingkat pengangguran Indonesia belum kembali seperti level sebelum pandemi. Artinya, masih ada kelompok usia pekerja yang belum kembali terserap oleh lapangan kerja yang ada saat ini,” ujar dia kepada VOI, Senin, 22 November.
Rendy menambahkan, kalangan dunia usaha sebenarnya masih membutuhkan sokongan pemerintah dalam mendukung aktivitas bisnis, seperti pelonggaran aturan perpajakan.
“Oleh karena itu, beragam upaya untuk mendorong pelaku usaha untuk bisa kembali melakukan ekspansi bisnis seharusnya perlu didukung. Salah satunya dengan tetap menyediakan insentif usaha,” tuturnya.
BACA JUGA:
Sebagai informasi, hingga 19 November klaster insentif usaha dalam PEN 2021 telah mampu terserap sebesar Rp62,47 triliun dari pagu Rp62,83 triliun.
“Insentif usaha merupakan realisasi PEN yang paling besar persentasenya, artinya memang relatif dibutuhkan untuk pelaku usaha,” tegas dia.
Untuk diketahui, pemerintah menyediakan anggaran PEN 2022 sebesar Rp321,2 triliun yang disebar ke dalam empat klaster, yakni kesehatan, perlindungan masyarakat, program prioritas, dan dukungan UMKM dan korporasi.
Sementara untuk PEN 2021 memiliki pagu sebesar Rp744,77 triliun didistribusikan ke empat klaster tersebut termasuk insentif usaha.
Melalui keputusan peniadaan insentif usaha di PEN tahun depan maka diperkirakan tidak ada lagi kebijakan penghapusan PPh 21 pekerja, PPh final UMKM, pembebasan PPh 22 impor, pengurangan angsuran PPh 25, hingga PPN properti dan PPnBM otomotif yang ditanggung pemerintah yang ada di PEN 2021.