Pemprov DKI Jakarta Bangun Pengelolaan Sampah Tebet: Solusi atau Masalah?
Ilustrasi foto (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pembangunan Fasilitas Pengelolaan Sampah Antara (FPSA) Tebet oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta jadi polemik. Penggunaan teknologi incinerator (pembakar sampah) hydrodrive untuk FPSA jadi muaranya.

Teknologi incinerator dianggap ramah lingkungan. Tapi teknologi ini juga diklaim buruk bagi pengelolaan sampah rumah tangga karena dapat memperparah pencemaran udara di Jakarta.

Pun wajah pengelolaan sampah Jakarta tak berubah setelahnya, dari kumpul, angkut, buang menjadi kumpul, angkut, bakar. Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jakarta Syarifudin menyatakan pembangunan FPSA di Tebet, Jakarta Selatan adalah solusi mengurangi kuantitas sampah yang masuk di TPST Bantargebang, Bekasi.

Berdasarkan data per Juli 2019, ketinggian gunung sampah di TPST Bantargebang telah mencapai 43-48 meter dari batas maksimal 50 meter. "Tujuannya untuk mendukung optimalisasi TPST Bantargebang yang sedang berjalan saat ini."

"Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Merah Putih di TPST Bantargebang dengan kapasitas 100 ton/hari dan Landfill Mining untuk pengolahan sampah lama menjadi bahan bakar dengan kapasitas rata-rata tahun 2020 sebesar 23 ton/hari, dan akan terus ditingkatkan kapasitasnya," kata Syaripudin dalam keterangan tertulis dikutip Liputan6.

Sampah di pembuangan akhir (Irfan Meidianto/VOI)

Karenanya, FPSA Tebet dijadikan salah satu strategi penanganan sampah dengan penerapan teknologi penanganan sampah yang ramah lingkungan dan tepat guna. Teknologi insinerator hydrodrive digadang-gadang dapat mengelolah sampah 120 ton/hari di atas lahan seluas 13.000 meter persegi.

Lebih lagi, FPSA memiliki keungulan dalam mengurangi sampai melalui perubahan bentuk, komposisi, karekteristik hingga jumlah sampah. Semua itu guna mewujudkan mimpi FPSA Tebet sebagai contoh pengelolaan sampah terpadu dengan teknologi modern.

"Pembangunan FPSA Tebet juga terintegrasi dengan kegiatan revitalisasi Taman Tebet yang saat ini juga sedang berlangsung. Konsep hijau dari Taman Tebet juga akan diterapkan di FPSA Tebet yang sedang direncanakan," tambahnya.

Tak Cuma Syarifudin, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengungkap hal yang sama. FPSA Tebet menurutnya tidak akan mengeluarkan polusi. Klaimnya, FPSA telah disematkan teknologi berskala mikro sehingga tidak menimbulkan pencemaran seperti yang dikhawatirkan beberapa pihak.

"Jangan diartikan seperti membakar sampah di rumah, ini pembakaran sampah menggunakan teknologi cuma berskala mikro kecil," tegas Riza Patria dikutip Republika.co.id.

Banyak mudaratnya

Aksi WALHI (Sumber: Istimewa)

Narasi Bantargebang kelebihan muatan atau overload bukan barang baru. Berkali-kali Pemprov DKI Jakarta mengungkap hal yang sama untuk memuluskan rencana pembangunan FPSA.

Direktur WALHI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengamini hal itu. Menurutnya narasi Bantargebang overload adalah klise. Narasi ini bahkan sering diulang-ulang diulang-ulang sejak tiga tahun belakangan.

“Bantargebang penuh itu sejak tiga tahun terakhir selalu dilagukan. Semacam memuluskan akal-akalan proyek bakar-bakaran sampah atau proyek pembakaran sampah berbasis termal. Padahal, incinerator di mana-mana tidak efektif. Jika dilihat ke belakang kebijakan Pemprov DKI Jakarta sendiri sistemnya masih kumpul, angkut, buang dan membuat Bantargebang overload. Bahkan itu dilakukan bersaman dengan mengumumkan Bantargebang overload. Artinya, Pemprov DKI tak belajar apa-apa.”

“Dengan adanya FPSA tentu tak mengubah apa-apa. Yang berbeda hanya kumpul, angkut, bakar di incineraror. Pemprov DKI sendiri sendiri tata kelola sampahnya tidak ada kemajuan, jadi dia sendiri yang membuat bantargebang itu penuh. Dan ini sudah lama terjadi. Makanya disebut klise,” ungkap Bagus kepada VOI, Rabu, 11 Agustus.

Perihal klaim incinerator ramah lingkungan, Bagus tak sepaham. Teknologi termal seperti incinerator bukan energi baru, melainkan teknologi lama yang sudah banyak ditinggalkan. Selain itu, incinerator banyak masalah. Ambil contoh seperti incinerator yang ada di Soreang, Bandung, Jawa Barat.

Incinerator Soreang sendiri banyak mudaratnya, ketimbang manfaat. Pasalnya, saat uji coba incineratornya malah mengeluarkan asap hitam dan tidak efektif. Berdasarkan pemantauan WALHI Jawa Barat, polusi dari fasilitas incinerator Soreang sering terbawa angin masuk pemukiman. Alhasil, masyarakat sekitar mengeluhkan bau-bau yang mengganggu penciuman.

Bagus pun menambahkan jikalau incinerator tak ubahnya semacam tungku bakar saja. Lantaran itu ketika incinerator di tempatkan pada Ruang Terbuka Hijau (RTH), Taman Tebet jelas akan menambah masalah baru. Lagi pula, salah satu fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah edukasi. Adapun penggunaan teknologi bakar-bakaran sampah di dalam Taman Tebet bukan suatu edukasi yang baik. Terutama untuk dipertontonkan kepada publik.

Pemerintah DKI Jakarta disebut hanya mengambil jalan pintas saja. Mereka lebih mementingkan pengelolaan sampah berbasis proyek, ketimbang pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat.

Bagus menyarankan Pemprov DKI Jakarta seharusnya menggalakkan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) 81 tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga. Dalam pasal 14 dijelaskan tiap produsen wajib melakukan pemanfaatkan kembali sampahnya. Misalnya produk A harus bertanggung jawab atas pengelolaan seluruh sampahnya sendiri. Dan ini belum dijalankan secara masif.

Setelahnya, Pemprov DKI lebih baik menghadirkan banyak Tempat Penampungan Sementara (TPS) 3R berbasis masyarakat. Alasannya, jumlah TPS 3R yang ada jauh dari angkat ideal. Kemudian, pemerintah segera memberi dukungan dan memperluas praktik-praktik baik pengelolaan sampah yang sudah berjalan di komunitas masyarakat.

“Dengan ini WALHI Jakarta meminta kepada Gubernur DKI Jakarta untuk segera membatalkan rencana proyek bakar-bakaran sampah di Taman Tebet, karena berpotensi membahayakan ruang interaksi masyarakat. Selain itu revitalisasi Taman Tebet dengan memasuki pengelolaan sampah menggunakan teknologi insinerator ini jauh dari konsep dan komitmen Gubernur untuk menjadikan taman tersebut dengan konsep Eco Garden. Suatu konsep yang menggabungkan taman dengan sarana interaksi, edukasi, dan rekreasi,” tutup Bagus.

*Baca Informasi lain soal DKI JAKARTA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

BERNAS Lainnya

BACA JUGA: