Bagikan:

JAKARTA - Beberapa waktu lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat Kabag Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta Dwi Achmad Noor dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT). Namun, lembaga tersebut melimpahkan kasus ini ke aparat kepolisian. Alasannya, dalam kasus tersebut tidak ditemukan unsur penyelenggara negara.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan hal tersebut. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menilai, pelimpahan kasus ini seharusnya tidak dilaksanakan. Alasannya, dalam kasus ini, ada permintaan sejumlah uang dari Rektor UNJ Komarudin.

Hal ini, terbukti dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh KPK dan hal inilah yang meyakinkan ICW jika Komarudin terlibat dalam kasus tersebut.

"Sudah terang benderang pada bagian awal siaran pers KPK menyebutkan ada dugaan keterlibatan dari Rektor UNJ yang mana memberikan instruksi dari berbagai fakultas dan lembaga penelitian," kata Kurnia seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis, 4 Juni.

Kurnia juga menegaskan, jabatan Rektor Universitas Negeri merupakan penyelenggara negara. Hal ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 2 ayat 7 yang menyatakan Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara.

Selain itu, Komarudin juga tercatat secara periodik melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Berdasarkan situs KPK, Rektor UNJ ini tercatat melaporkan LHKPN-nya pada tahun 2019 yang lalu.

Lagipula, menjadikan rektor sebagai seorang tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi sudah pernah dilakukan KPK. Pada tahun 2016 yang lalu, KPK pernah menetapkan mantan Rektor Universitas Airlangga Fasichul Lisan sebagai tersangka.

Saat itu, Fasichul diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan di Universitas Airlangga. Dari perbuatannya, mantan Rektor itu telah merugikan negara sebesar Rp85 miliar.

"Tentu preseden ini menandakan bahwa KPK beranggapan bahwa Rektor merupakan bagian yang tak terpisahkan dari unsur penyelenggara negara," tegas Kurnia.

Dua pasal yang bisa digunakan oleh KPK

Kurnia mengatakan, KPK bisa menjerat Komarudin dengan dua pasal terkait tindak pidana korupsi. Pasal pertama adalah dugaan pemerasan atau pungutan liar.

Menurutnya, pasal ini bisa diterapkan karena dari perkara tersebut dijelaskan Rektor UNJ Komarudin meminta Dekan Fakultas UNJ dan lembaga lainnya mengumpulkan dana sebesar Rp5 juta. Dana ini, kata Kurnia, direncanakan untuk tunjangan hari raya (THR) bagi pegawai Kemendikbud.

"(Hal ini) dapat dikategorikan sebagai perbuatan pemerasan atau pungutan liar dan hal ini diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001," ungkap Kurnia.

"Sederhananya, apa argumentasi logis yang dapat membenarkan tindakan Rektor UNJ untuk memberikan THR dengan menggunakan dana dari Fakultas dan lembaga penelitian," imbuhnya.

KPK, sambung Kurnia, juga pernah menangani kasus dengan penggunaan pasal tersebut. Hal ini terjadi di tahun 2013 lalu saat lembaga antirasuah ini menjerat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Dirjen Pajak, Pargono Riyadi. Ketika itu, Pargono diduga memeras seorang wajib pajak bernama Asep Hendro sebesar Rp125 juta.

Pasal yang kedua adalah dugaan tindak pidana suap. Kesimpulan ini didapatkan dari peristiwa saat Kabag Kepegawaian UNJ memberikan dana kepada pegawai di Kemendikbud atas dasar inisiatif Rektor Komarudin.

Hal ini harusnya bisa menjadi dasar penerapan Pasal 5 UU Tipikor dan pelaku bisa dipidana maksimal lima tahun penjara.

"Dalam konteks ini karena pihak pemberi diduga adalah Rektor yang notabene disebutkan dalam UU 28/1999 sebagai penyelenggara negara, tentu KPK dapat menindaklanjutinya," tegas dia.

Dirinya juga menilai, sebuah kekeliruan bagi KPK jika menganggap Rektor UNJ tidak terlibat karena yang terjerat dalam OTT tersebut hanyalah Kabag Kepegawaian UNJ. "Sebab, sedari awal yang memiliki inisiatif untuk memberikan sejumlah uang ke pegawai Kemendikbud adalah Rektor itu sendiri," ungkapnya.

Terkait pihak yang diduga penerimanya bukan penyelenggara negara, Kurnia menilai KPK sering menangani perkara seperti ini. Menurut peneliti ICW ini, KPK masih bisa menetapkan sebagai tersangka dengan memakai pasal penyerta yakni Pasal 55 KUHP. 

"Karena kan Pasal 55 KUHP memandatkan bahwa orang yang terlibat dalam perkara baik itu meminta atau melakukan tindak pidana dapat dijerat dengan pasal pokoknya dengan menyertakan Pasal 55 KUHP. Jadi sebenarnya sudah sangat clear kasus ini bisa ditangani KPK," jelasnya.

Awal kasus sebelum dilimpahkan

Pada 21 Mei, melalui keterangan tertulis, Deputi Penindakan KPK Karyoto mengumumkan telah melaksanakan operasi senyap di lingkungan Kemendikbud dan menjerat Kabag Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor. 

Dia merinci, OTT ini bermula saat KPK menerima informasi pada 13 Mei, Rektor UNJ Komarudin meminta dekan fakultas dan lembaga di UNJ untuk mengumpulkan uang masing-masing Rp5 juta melalui Dwi Achmad Noor. 

Selanjutnya, pada tanggal 19 Mei terkumpul uang sebesar Rp55 juta dari 8 Fakultas, 2 Lembaga Penelitian dan Pascasarjana. Uang ini selanjutnya akan diserahkan kepada pejabat di Kementerian yang dipimpin Nadiem Makarim ini.

"Uang tersebut rencananya akan diserahkan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemendikbud dan beberapa staf SDM di Kemendikbud sebagai THR," kata Karyoto. 

Ilustrasi (PIxabay)

Pada tanggal 20 Mei, Dwi membawa uang Rp37.000.000 ke kantor Kemendikbud. Selanjutnya, diserahkan kepada Karo SDM Kemendikbud sebesar Rp5 juta, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp2,5 juta, serta dua staf SDM Kemendikbud Parjono dan Tuti masing-masing sebesar Rp 1 juta.

Kemudian, Inspektorat Jenderal Kemendikbud memberi informasi kepada KPK adanya pemberian sejumlah uang. Selanjutnya, tim KPK bersama dengan tim Itjen Kemendikbud mengamankan Dwi beserta barang bukti berupa uang sebesar 1.200 dolar AS dan Rp27.500.000. 

Dalam kegiatan operasi tersebut, KPK menangkap tujuh orang, yakni Rektor UNJ Komarudin, Kabag Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ Sofia Hartati, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud Tatik Supartiah, Karo SDM Kemendikbud Diah Ismayanti, Staf SDM Kemendikbud Dinar Suliya, dan Staf SDM Kemendikbud Parjono. 

Sayangnya, setelah berhasil mengamankan beberapa orang dari OTT itu, penyidikan kasus ini tidak dilakukan oleh KPK. Sebab, kasus ini diserahkan pada kepolisian. Alasannya dari orang yang ditangkap tidak ada unsur penyelenggara negara. Dengan begitu, KPK tidak berwenang untuk menanganinya.

"Setelah dilakukan pemeriksaan di Gedung KPK, belum ditemukan unsur pelaku penyelenggara negara. Mengingat kewenangan, tugas pokok dan fungsi KPK, kasus tersebut pun dilimpahkan ke Polri," ungkap Karyoto.

Namun, hingga saat ini belum ada tersangka yang dijerat dalam kasus ini. Tujuh orang yang diamankan dalam operasi senyap itu hanya dikenai wajib lapor. Sementara UNJ mengklarifikasi dalam penangkapan tersebut, Komarudin tidak ditangkap. 

Mereka juga menyebut tak ada keterlibatan penyelenggara negara dan meminta semua pihak mengutamakan asas praduga tak bersalah.