Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah tengah mempertimbangkan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang telah diterapkan di empat provinsi dan 72 kabupaten/kota untuk memutus penyebaran COVID-19 di Indonesia.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo meminta Presiden Joko Widodo menyiapkan empat tahapan sebelum melaksanakan pelonggaran PSBB tersebut. 

Empat tahapan yang dirancang oleh Doni sebelum pelonggaran PSBB dimulai dari tahap prakondisi. Dalam tahap ini, Gugus Tugas akan melibatkan pakar epidemiologis, pakar kesehatan masyarakat, sosiolog, pakar komunikasi publik dan pakar ekonomi, untuk membuat simulasi serta kajian akademis soal pelonggaran PSBB.

"Sehingga perhitungan-perhitungan yang mereka sampaikan itu bisa ditangkap oleh pemerintah," kata Doni dalam konferensi pers yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Kabinet, Selasa, 12 Mei.

Dalam tahap prakondisi ini, Gugus Tugas bersama dengan sejumlah lembaga survei, akan menggelar pooling test COVID-19 di 8 provinsi yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Bali, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ada sekitar 1.000 responden yang akan disiapkan untuk menjalankan pooling test ini.

"1.000 responden ini nantinya mewakili seluruh masyarakat yang ada di tiap provinsi. Sehingga kami akan bisa mendapatkan data yang berasal dari swab test termasuk juga sejumlah pertanyaan yang akan disampaikan," ungkap Doni.

Kemudian, hasil tes ini jadi pertimbangan bagi Gugus Tugas mengambil keputusan dan memberikan masukan bagi kementerian/lembaga terkait dan pemerintah daerah tentang apa yang harus dilaksanakan selanjutnya dalam penanganan COVID-19.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo (dokumentasi: BNPB)

Ketika tahap prakondisi usai, Gugus Tugas akan masuk pada tahapan lanjutan yaitu menentukan kapan pelonggaran ini dilaksanakan. Menurut dia, bagi wilayah yang telah melaksanakan PSBB namun kurvanya belum menurun maka tak akan ada pelonggaran. 

"Kalau daerah belum menunjukkan kurva menurun apalagi melandai, maka tidak mungkin daerah itu diberikan kesempatan untuk melakukan pelonggaran," tegasnya.

Lalu, tahap ketiga yaitu menentukan prioritas bidang mana saja yang boleh beraktivitas di masa pelonggaran tersebut. Seperti, di bidang pangan khususnya pasar, restoran, atau kegiatan lain untuk menghindari pemutusan hubungan kerja bagi masyarakat. 

Tahap terakhir adalah koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Hal ini dinilai penting agar tidak terjadi penolakan terkait keputusan yang dihasilkan. 

"Jangan sampai nanti pusat berikan pelonggaran ternyata ada penolakan (di daerah). Demikian juga mungkin daerah memutuskan meminta pelonggaran, ternyata pusat melihat belum waktunya. Jadi koordinasi pusat dan daerah ini menjadi prioritas kami," jelasnya.

Pooling test COVID-19 dianggap berhasil di Sumatera Barat

Pooling test atau pengujian secara kelompok ini sudah dilaksanakan di Provinsi Sumatera Barat. Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno mengatakan, pooling test ini telah dilakukan kepada kelompok orang dalam pengawasan (ODP) dan orang tanpa gejala (OTG). Hasilnya, dia menjelaskan, pengujian spesimen lewat PCR dengan metode pooling test lebih efisien dan menghemat waktu.

"Pooling test itu adalah upaya untuk lebih mengefisiensikan pemeriksaan sepesimen dan juga lebih murah, lebih cepat, dan hasilnya bisa dijadikan rujukan," kata Irwan usai mengikuti rapat terbatas secara daring bersama Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.

Dari hasil tes ini, Pemprov Sumbar jadi bisa menekan angka penyebaran COVID-19 di wilayahnya. Sebab, pooling test bisa mencari mereka yang terinfeksi namun keberadaannya tersembunyi. Selain itu, pelaksanaannya juga dianggap lebih masif daripada tes satu per satu.

Namun, belakangan pooling test ini mendapat sorotan karena di sejumlah daerah di Sumatera Barat yang bebas COVID-19, justru terdapat pasien positif. 

Irwan berkilah, pasien positif itu bukan karena pengujian secara kelompok tadi. Menurut dia, pasien positif ini tertular COVID-19 dari pendatang yang berasal dari kabupaten lain yang berbatasan langsung dengan Sumbar. 

"Jadi kalau kita dapat hasil pooling test negatif mestinya kalau mau ideal semua orang yang ada di dalam satu wilayah diblokir," tegasnya.

"Kalau pun masuk dicegat, diswab dulu sampai dipastikan negatif. Karena ini tidak dilakukan maka terjadi yang sudah negatif malah jadi positif," imbuh Irwan.

Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Harus berbasis bukti ilmiah

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menjelaskan, pooling test lebih familiar disebut 'Dorfman Testing' seperti nama penemunya. Metode ini ditemukan pada tahun 1943, yang awalnya dilaksanakan pada perang dunia kedua dengan teknik surveilans karena keterbatasan sumber daya untuk melakukan tes.

"Awalnya dilakukan saat perang dunia kedua dalam melakukan skrining penyakit sifili pada tentara Amerika dengan cara dilakukan pooling test pada air kencing mereka. Selanjutnya, teknik ini juga dilakukan pada darah, seperti saat awal mewabahnya HIV," kata Dicky dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip VOI pada Selasa, 12 Mei.

Sementara, pooling test COVID-19 ini dilakukan dengan menggabungkan sampel dari beberapa pasien untuk satu kali pemeriksaan dengan satu reagen untuk pengetesan COVID-19. Namun, pengujian dengan metode ini akan lebih efektif jika pasien yang diperiksa berasal dari satu populasi homogen. 

"Hal ini bisa dilakukan di lokasi kecil yang relatif homogen sperti perkantoran atau pabrik atau rumah sakit," ungkap dia.

Meski bukan hal baru, namun World Health Organization (WHO) belum mengeluarkan kebijakan resmi terkait penggunaan pooling test dalam kasus pendeteksian virus corona.

Tapi, Dicky mengingatkan, ketika pooling test ini diambil, tidak boleh melampaui jumlah sampel dalam kelompok yang direkomendasikan WHO, yaitu 6 sampel per satu kelompok. Kemudian sebagai tindaklanjut dari pengujian tersebut, sejumlah tindakan lain seperti melacak pergerakan virus, menangani, melaksanakan isolasi, serta membuat program pencegahan adalah sebuah keharusan.

Selain itu, meski pooling test membuat pengujian lebih efisen namun Dicky menyarankan otoritas untuk berhati-hati dalam menerapkan kebijakan terkait penyebaran COVID-19. Apalagi, virus ini masih baru dan terus bermutasi.

"Menyikapi COVID ini bukan hanya tentang angka tapi ada manusia di sana yang bisa jadi keluarga kita juga. Jadi setiap strategi yang dilakukan harus dipilih dan memiliki scientific evidence based (bukti ilmiah)," tutupnya.