Polemik Diturunkannya Insentif Pengemudi Gojek Seperti Fenomena Gunung Es Masalah Status Kemitraan Ojol
Ilustrasi (Sumber: Unsplash/Afif Kusuma)

Bagikan:

JAKARTA - Merger Gojek dan Tokopedia atau GoTo melahirkan persoalan baru terhadap mitra pengemudi ojek online (ojol). Salah satunya soal penurunan insentif sampai beredar kabar, para mitra ojol GoTo untuk layanan GoKilat atau GoSend Same Day bakal melakukan aksi mogok besar-besaran. Polemik ini bisa jadi seperti fenomena gunung es dari masalah status kerja ojol yang hanya sebatas mitra. 

Kabarnya, besaran insentif terbaru pengemudi Gojek tersebut menurun signifikan. Misalnya, insentif Gosend SMD Jabodetabek ditetapkan Rp1.000 per pengantaran dengan jumlah 1-9 pengantaran. Kemudian Rp2.000 per pengantaran untuk 10-14 pengantaran, dan Rp2.500 per pengantaran bila driver menyelesaikan pengantaran di atas 15 paket. 

Bandingkan dengan skema insentif lama sebesar Rp10 ribu bila driver menyelesaikan 5 pengantaran, Rp30 ribu untuk 8 pengantaran, Rp45 ribu untuk 10 pengantaran, Rp60 ribu untuk 13 pengantaran, dan Rp100 ribu untuk 15 pengantaran. Akibatnya, sempat ada kabar bahwa para pengemudi Gojek akan melakukan aksi mogok serentak di Jabodetabek selam tiga hari dari tanggal 8 sampai 10 Juni 2021.

Penurunan insentif ini dinilai berhubungan dengan langkah efisiensi Gojek sebagai konsekuensi merger dengan Tokopedia. Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura menerangkan dalam kasus GoTo, efisiensi berada di sisi Gojek karena beban tambahan dari hasil merger.

“Masalahnya adalah Gojek selanjutnya membebani ini ke mitra. Bukan uang dari perusahaan tetapi keuntungan mitra yang dipotong,” kata Tesar, dikutip Bisnis.

Masalah ini dianggap merugikan driver mitra, terlebih tidak ada perundingan antara perusahaan dan mitra dalam memutuskan penyesuaian. Namun di sisi lain, pihak Gojek berupaya memberikan peluang lebih besar kepada lebih banyak mitra dalam memperoleh insentif. 

Hal itu dijelaskan oleh VP Corporate Communications Gojek Audrey Petriny. “Kebijakan ini merupakan langkah untuk lebih memeratakan jumlah mitra yang dapat memperoleh insentif tersebut, sehingga semakin banyak mitra yang berpeluang mendapatkan penghasilan tambahan di masa pemulihan pandemi," kata dia dilansir Kompas.

Ilustrasi (Sumber: Unsplash/Afif Kusuma)

Daya tawar lemah

Aksi mogok massal sejumlah pengemudi mitra Gojek membuka pertanyaan bagaimana nasib mereka setelah merger menjadi GoTo. Jawaban dari pertanyaan ini juga setidaknya bakal bisa menjelaskan mengenai hubungan pengemudi ojol dan perusahaan. 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, VOI mewawancarai peneliti Indef Esther Sri Astuti. Ia menerangkan merger beberapa perusahaan masih memberikan kondisi yang sama terhadap tenaga kerja. Ini berbeda bila perusahaan melakukan ekspansi, maka akan ada penciptaan lapangan kerja baru untuk mengurangi pengangguran. Untuk merger GoTo, Esther menilai keadaannya masih sama.

Penyesuaian insentif ini tidak terlepas dari status driver Gojek itu sendiri. Mereka adalah mitra, bukan karyawan Gojek. Status mitra tidak mengikat dalam UU Ketenagakerjaan. Inilah yang membuat driver memiliki daya tawar lemah terhadap perusahaan.

"Setting awal mereka adalah mitra, mereka tidak dianggap sebagai karyawan. Kalau sebagai karyawan artinya ini mengikat Gojek dengan UU Ketenagakerjaan. Misalnya, kalau terjadi PHK atau ada masalah, pasti merujuk pada UU Ketenagakerjaan, perushaan sulit melakukan pemecatan karena kompensasi," kata Esther.

Terkait penyesuaian insentif, lemahnya daya tawar driver juga pada akhirnya membuat mereka "mau tidak mau" hanya bisa mengikuti aturan perusahaan. Sementara itu perusahaan tentu berprinsip mengejar profit dan melakukan efisiensi.

"Yang jelas, driver online itu adalah orang-orang yang low bargaining power (daya tawar rendah). Jadi, kalau sama-sama menguntungkan, tuntutan driver online terlalu tinggi tapi tidak menguntungkan GoTo, otomatis tidak akan digabungkan. Intinya di sini adalah simbiosis mutualisme," jelas Esther.

Masalah kemitraan

Para pengemudi ojol seolah tak punya daya tawar untuk memprotes apabila ada pengurangan insentif. Musababnya, ikatan kerja sama mereka hanya berstatus mitra. Padahal hal itu tidak bisa menjadi alasan sepenuhnya. 

Hal tersebut dijelaskan oleh  Pengacara Advokat Anak Bangsa, Farizal Pranata. Menurutnya, meski ikatan kerja sama pengemudi ojol dan perusahaan berstatus kemitraan, perusahaan tetap perlu memberikan beberapa hak jaminan. Antara lain jaminan kesehatan, keselamatan dan aturan terkait pembagian fee. 

“[Perusahaan] sangat perlu memberikan jaminan kesehatan, keselamatan dan keterkaitan aturan pembagian fee. Hal ini tetap menjadi tanggung jawab perusahaan dan itu harus dimasukan ke dalam ketentuan syarat kemitraan,” kata Farizal kepada VOI beberapa waktu lalu. 

Pendapat Farizal bukan tanpa dasar. Menurutnya, dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H tersurat bahwa “kepada setiap orang walau dengan profesi kurir harus dijamin atas kesehatannya.”

Sementara itu Farizal juga menuturkan mengapa perusahaan enggan memberikan jaminan kepada para kurir. “Mereka mendalilkan entitasnya merupakan perusahaan berbasis teknologi. Mereka menolak dikatakan perusahaan trasnportasi sehingga tidak ada kewajiban untuk memberikan asuransi kesehatan,” pungkasnya. 

BERNAS Lainnya